Dec 19, 2013 0 komentar

CERAH



Saat semua mengabur,
ketika itu siluet bayangan yang sempat terekam ingatanku justru terang menerawang.
Melangkahi jejak-jejak lepas pantai,
mengudara karena angin yang membuai berdesir.
Aku masih ada disini,
menantimu dalam hitungan tak tentunya waktu,
mengawali hari dalam penantian kemunculan bias terang matahari.
Melawan kehampaan dalam bening yang luas akan pekat.
Aku akan selalu disini…
Diam, dalam sela-sela tarikan nafas…
Menunggu, dengan seksama mendengarkan angin…
Berimajinasi, akan hal-hal prediksi yang tidak beraturan…
Dan angan-angan yang meninggikan harapan…
Sampai tiba pada waktu untuk menukar khayalan menjadi kenyataan.

***
“CERAH,,” Randu berteriak memanggilku. Ya, namaku adalah Cerah, sangat kontras dengan kenyataan pahit yang ada dalam hidupku. “Cerah, ayo pulang, ada yang mencarimu dirumah,,” kata Randu yang suaranya sudah ada disisi kiriku.
“Siapa?” tanyaku. Hatiku melayang, wajahku tidak bisa menyembunyikan semburat kebahagiaan akan sebuah harapan. Apakah Elang sudah kembali dari pengembaraannya? Apakah dia sudah menemukan apa yang dicarinya? Apakah benar dia yang mencariku dirumah? Dan apakah yang kunanti telah tiba?
“Ayo,, kita harus segera pulang,,” Randu mengambil tangan kiriku.
Dengan dada yang penuh sesak akan rasa yang sudah teraduk demikian hebatnya, aku mengikuti Randu. Ia menggamit tanganku erat, seolah-olah aku akan lari dari tuntunannya.
“Ingat ya Cerah, apapun atau siapapun yang kamu hadapi nanti,, kamu harus menahan diri,,” Randu memberi peringatan.
“Memangnya ada apa? Elang sudah pulang?”
Randu tidak menjawab, malah mengalihkan pembicaraan ke sesuatu hal yang ganjil. “Cerah, kamu ingat sudah berapa lama kita bersahabat?” tanyanya.
“Baru sebelas tahun,, kenapa memangnya?” tanyaku mengerutkan alis.
“Selama sebelas tahun itu, apakah aku pernah meninggalkan kamu sebagai sahabatku?” tanyanya lagi. Kali ini sambil memberiku kode dengan gerakannya kalau ada batu kecil yang menghalangi jalanku.
Aku tersenyum mendengar pertanyaannya. “Aku tahu kamu tidak akan pernah seperti itu,, itu bukan kamu sama sekali! Randu yang aku kenal itu, menyenangkan, keras kepala dan selalu ada disaat aku membutuhkanmu,,”
Randu menepuk-nepuk lenganku dan aku mendengarnya tertawa rendah. Itu artinya dia senang dengan perkataanku.
“Kalau aku bagaimana? Bukannya selama ini aku adalah sahabat yang menyusahkan untukmu?” tanyaku kembali. Langkah Randu terhenti, otomatis langkahkupun ikut terhenti.
“Sahabat itu bukan tentang siapa menyusahkan siapa. Iya memang kamu menyusahkan kelihatannya, tapi itu untuk mata yang melihat hanya dari sebuah sisi yang buram. Aku melihat situasi saling menyusahkan ini menjadi seperti saling memahami. Jadi aku sama sekali tidak merasa direpotkan, jangan berfikir seperti itu, ok?”
“Tapi orang-orang bilang aku hanya menjadi bebanmu, apalagi semenjak,,,” kata-kataku terputus karena Randu menggeram kesal.
“Urgh Cerah, apa yang mereka katakan itu hanya dari apa yang mereka lihat bukan apa yang mereka rasakan. Yang aku rasakan itu tidak sama dengan apa yang mereka katakan. Kamu sendiri kan yang bilang, hanya dengan menjadi bagianlah, kita bisa dengan bijaksana menilai. Sekarang aku tanya sama kamu, apa mereka sudah menjadi bagian dari hidup kita, hingga membuat mereka merasa punya hak menjadi juri dihidup kita?”
“Sudah,,” jawabku sekenanya tanpa berfikir ulang.
“Sudah? Sebagai apa? Figuran? Yang hanya memandang dengan mata belas kasihan ke kamu tanpa berbuat apapun untuk membantumu? Kalau pada akhirnya belas kasihan itu berubah seratus delapan puluh derajat menjadi merendahkan, aku lebih memilih tidak akan menerima belas kasihan dari siapapun!”
“Tapi setidaknya aku menghargai simpati mereka,,” ucapku membantah penilaian Randu.
“Simpati tidak bisa mengangkatmu dari keterpurukan, ketika kita terpuruk, bukanlah belas kasihan atau simpati yang kita butuhkan. Tapi uluran tangan,, kalaupun kita tidak bisa memberikan bantuan, setidaknya berikan mereka segenggam semangat yang kita punya, dan barisan doa yang tulus kita panjatkan tanpa ditulis di status facebook atau twitter atau dijadikan status bbm hingga seluruh bumi pertiwi tahu kalau kita sedang berbelas kasihan pada orang lain, sungguh menjijikan sifat seperti itu!”
Aku bisa merasakan saraf otot Randu sedikit menegang mengatakan ini. Aku tau betul sifatnya, jika dia sudah seperti ini, itu tandanya Randu sangat serius dengan ucapannya dan amarahnya mulai naik. Entah apa yang  membuatnya menjadi cepat marah seperti itu.
“Jadi, siapa yang datang menemuiku?” aku mengalihkan perhatiannya agar tidak semakin memanas.
“Aku,,” jawab suara berat yang sangat kuhafal diluar kepala. Randu kemudian melepas tanganku.
“Aku sebaiknya meninggalkan kalian berdua,,” kata Randu, yang langkahnya kudengar segera menjauh.
Tanganku seperti merasa kehilangan genggaman ketika Randu melepaskan tanganku dan berlalu pergi.
“Ini aku Cerah,,” suara berat itu.
Jantungku berdetak cepat, aku mencoba sekali lagi meyakinkan diriku kalau aku barusan tidak sedang berhalusinasi. Aku benar-benar mendengar suaranya. Dan bagaimana bisa Randu malah meninggalkan kami hanya berdua?
“Apa kabar Cerah?” suara berat itu kembali membuktikan eksistensinya. Seperti mencoba mengatakan, kalau aku sedang tidak berhalusinasi.
Mendadak wangi harum parfum yang sangat kukenal menyeruak masuk ke pernafasanku. Tiba-tiba saja aku merasa sedang berada disuatu tempat yang dalam versiku, kusebut itu dengan surga dunia. Ya, berada disisinya adalah seperti surga bagiku. Aku akan selalu ingin berada disampingnya, merasakan sensasi yang membuatku menagih untuk menuntut kebahagiaan yang sebenarnya tidak perlu ku tagih. Rasa itu akan hadir dengan suka rela memenuhi kalbuku setiap dia ada.  
“Kamu belum menjawab pertanyaanku,,” sekarang suara berat itu tepat ada dihadapanku.
Aku mengangkat tangan kananku. Pertama rahangnya yang simetris, pipinya yang sudah mulai berisi, bulu matanya dan alisnya yang sejajar, dan aku masih bisa mengingat matanya yang sedikit sayu namun tajam. Aku meraba itu semua dan melihatnya dikedalaman pikiranku. Begitu ku sentuh bibirnya, “Aku baik,, kamu sendiri gimana? Ada bekas luka disudut kiri bibir atasmu?” pertanyaanku menggantung, keningku berkerut khawatir.

***
Selama ini aku memang menantikan kehadirannya. Tapi jika kehadirannya justru malah membawakanku sebuah luka baru yang mengenaskan, aku memilih untuk tidak menunggunya selama ini.
Setelah Elang menuturkan maksud kedatangannya kehadapanku dengan penuh ketetapan hati yang kudengar dari tekanan suaranya. Itu membuatku sakit. Dunia ku yang sudah gelap semakin gelap. Harusnya aku sadar diri agar tidak berkeras hati setia menunggu kehadirannya, menantikannya dengan harapan yang membumbung kehamparan langit diatasku. Tiga tahun penantian, yang malah pada akhir cerita mengulitiku tanpa belas kasihan. Mungkin ini maksud dari pembicaraan Randu tadi. Elang ternyata hanya kasihan padaku. Cinta itu hanya berupa bentuk belas kasihan. Entah apa yang kurasakan, aku merasa malu hati dan sangat marah dikasihani oleh Elang. Aku tidak selemah itu. Justru aku merasa aku diremehkan. Randu benar. Sahabatku mengatakan kebenaran. Dikasihani sungguh menyakitkan terutama oleh orang yang kamu kira benar-benar mencintaimu.
Malam ini aku tidak ikut makan malam bersama keluarga Randu. Aku lebih memilih hanya menyantap roti yang sebenarnya tidak ingin kulahap, aku hanya membutuhkan roti itu untuk sekedar mengisi perutku yang kosong dan sekedar menghibur hati ibunda Randu yang terdengar sangat khawatir dengan keadaanku. Ibu yang rela menampungku dikeluarganya setelah sebuah kecelakaan membunuh seluruh keluargaku.
Aku hanya diam dikamar ini. Kamar yang mulai ku tempati semenjak sebuah kecelakaan menimpa seluruh keluargaku. Kecelakaan yang membuat orang tuaku pergi menghadap yang disebut orang-orang sekitarku dengan Sang Pencipta. Aku bahkan meragukan eksistensinya. Kecelakaan yang membuat aku tidak lagi bisa menatap lawan bicaraku, tidak lagi bisa melihat langit, tidak lagi bisa memilih warna kertas untuk hobiku melipat kertas. Tidak lagi bisa berlari kencang merasakan angin tanpa tersandung dan terjerembab, tidak lagi bisa melihat titik-titik hujan yang berhamburan ke atas pasir pantai. Sekarang, aku hanya bisa menangis. Aku tidak bisa lagi berbuat banyak hal. Aku bahkan tidak bisa dicintai lagi oleh orang yang selama ini aku nantikan. Dan semua itu hanya disebabkan satu hal, aku buta.
Aku bangkit dari tempat tidurku. Aku menghapus air mataku yang bukannya berhenti malah semakin deras mengalir. Baiklah, aku tidak mau berlarut-larut. Aku memutuskan untuk mengalihkan pikiran cengengku dengan cara melakukan hobiku melipat kertas.
Kakiku menyentuh lantai marmer yang dingin. Aku kemudian mulai meraba pinggiran tempat tidur dan mulai memetakan letak perabotan di kamar ini melalui pikiranku. Aku merasakan sudut tempat tidur yang berbentuk bulatan, itu artinya sebentar lagi aku akan sampai di sebuah meja yang diatasnya sudah tersedia kertas lipat. Ayah Randu yang menaruhnya disana. Tanganku akhirnya menyentuh meja itu dan dapat merasakan lembaran-lembaran kertas yang berserakan diatasnya, setelahnya tanganku kembali mencari-cari kursi, tanpa susah payah aku langsung menemukannya. Langsung saja aku mengambil selembar, dan langsung sibuk melipat-lipat. Sedikit berhasil, kesedihan itu sedikit demi sedikit tersamarkan. Pikiranku bukan lagi sibuk melarutkan diri dalam kepedihan, namun mulai sibuk mengingat-ingat langkah setiap lipatan kertas ini. Merasakan lipatan melalui indera perabaku.
Aku memang tidak bisa melihat, namun aku handal dalam hal melipat kertas menjadi bentuk perahu. Setelah bosan dengan bentuk perahu berukuran besar, tanganku mencari lagi kertas lipat berukuran sedang. Entah kertas berwarna apa yang kudapat, aku kembali melebur dalam keasyikan sendiri melipat kertas. Aku seperti sedang dialihkan ke tempat dimana isi kepalaku separuhnya berlayar bersama perahu-perahu kertas yang kubuat. Semakin lama, semakin aku memaksa membuat yang lebih kecil dengan kertas yang lebih kecil. Entah sudah berapa buah perahu kertas ini ku buat, yang jelas, semakin banyak perahu kertas yang kubuat, beban-bebanku semakin berlayar menjauh dariku, dibawa oleh perahu-perahu ini.

***
“Kakak Cerah, kakak hebat ya, tanpa dengan melihat kakak bisa membuat perahu kertas sebanyak ini,,” ujar Ranting, adik perempuan dari Randu, setelah kuajarkan dia membuat perahu kertas pagi ini.
Aku masih memasukkan satu persatu perahu kertas mini yang semalam kubuat entah sampai jam berapa kedalam toples kaca yang berukuran sebesar kaleng biskuit. Beberapa yang berukuran besar, diminta Ranting untuk menemaninya bermain nanti siang bersama teman-temannya. Aku hanya tersenyum mendengarnya bicara. Selain membuat perahu kertas, mendengar anak kecil usia menuju lima tahun bicara, juga meringankan separuh beban hidupku. Entah kenapa, suara mereka yang menggemaskan, seperti mengandung sihir yang memberi efek membius hatiku menjadi lebih sedikit santai. Ditambah lagi suara itu berasal dari gadis kecil yang manis seperti Ranting.
“Kak,, kok perahu sih? Kenapa bukan bunga?” tanya Ranting.
“Karena kakak suka sekali dengan perahu,,,” jawabku sambil masih sibuk meraba-raba mencari perahu kertas mini buatanku yang pastinya masih banyak berceceran diatas meja ini.
“Kenapa kakak suka sama perahu?” tanya ranting lagi.
“Memangnya Ranting sukanya sama apa?”
Sebelum menjawab pertanyaanku, aku agak terkejut merasakan dia tiba-tiba sudah bergelayut dipinggangku.
“Aku mau kasih tau kakak, tapi kakak jangan bilang siapa-siapa ya? Ini rahasia kita berdua!” katanya malu-malu namun sedikit mengancam, membuatku tersenyum. “Aku sukanya sama abang Elang,,” lanjutnya.
Aku tertegun sejenak mendengar jawabannya. Bahkan seorang gadis kecil seperti Ranting pun dengan mudahnya jatuh cinta pada Elang.
“Kenapa?”
“Ga tau kak,, aku senang sama abang Elang gitu aja,,” suara polosnya dan ucapannya yang jujur apa adanya, benar-benar menunjukkan kejujuran yang luar biasa. Aku menjadi sadar akan apa itu cinta yang sebenarnya. Cinta adalah ketika kita mencintai tanpa ada satupun alasan didalamnya. Sehingga tidak ada satu pun alasan yang mampu membuat kita membenci cinta. Ranting secara tidak langsung mengajarkanku hal ini. Pantas aku tidak bisa membenci Elang setelah apa yang dia lakukan terhadapku.
Ucapan Ranting, seperti menguak apa yang aku rasakan selama ini terhadap Elang.
“Kakak belum menjawab pertanyaanku,,” katanya merengek.
“Pertanyaan yang mana?” alisku berkerut. Sebenarnya aku ingat, hanya saja menyenangkan untuk akting berpura-pura lupa dihadapannya.
“Kenapa kakak suka sama perahu?”
Aku menerawang sesaat sebelum menjawab pertanyaannya.
“Kenapa perahu?” tanyaku ulang, sekedar membuat selang waktu untuk menyusun kata-kata yang ada di kepalaku.
Ranting tidak bersuara, aku menebak dia menganggukkan kepala. Persis seperti apa yang Randu ceritakan padaku, adiknya ini akan mandadak tenang jika rasa ingin tahunya sebentar lagi terjawab. Aku menyentuh kepala Ranting yang masih bergelayut manja padaku.
“Karena perahu itu berteman dengan ombak,,” jawabku singkat.
“Dengan ombak? Kata bunda ombak itu berbahaya kak?”
“Iya berbahaya,,”
“Tuh kaannn,, berarti benar apa kata bunda,,”
“Tapi, semua itu tergantung kita Ranting. Perahu sudah dilengkapi segala macam yang kita perlukan, ada layar, ada dayung, ada peta navigasi,,”
“Untuk apa itu semua?”
“Untuk kita menghadapi ombak yang bisa saja tiba-tiba mengamuk dan menjadi jahat. Layar, untuk kita mengatur angin yang akan mengajak kita mengarungi laut bebas. Ada dayung, yang sangat baik hati membantu kita ketika angin sedang malas mengajak kita mengarungi lautan,, dan terakhir, ada peta navigasi yang jika kita tersesat, kita akan menemukan jalan pulang,,”
“Senjatanya mana kak?”
“Senjata apa?” aku bingung.
“Senjata untuk melawan ombak yang jahat..” ucapnya polos.
“Ombak itu tidak bisa dilawan dengan senjata,, yang harus kita lawan hanyalah rasa takut kita ketika kemarahan ombak itu datang. Kita harus berani melawan rasa takut kita ketika ombak seperti itu muncul,,”
“Aku tidak takut sama ombak kak,, tapi kenapa bunda selalu melarangku bermain ombak yang besar?”
“Karena ombak besar bukan mainan Ranting sayang,,”
Ranting diam, namun kemudian mengoceh kesana kemari, dan beberapa ocehannya yang tidak terkontrol malah membuka sebuah rahasia yang selama ini aku tidak ketahui menjadi sangat transparan.
Mendengar suara Ranting, membuatku merasakan lebih baik dari hari berat kemarin. Aku ingat sebuah istilah yang pernah Randu katakana, “Hari ini pun akan berlalu”. Dan semua hal yang menyakitkan dihari kemarin sudah terjadi. ‘Ini semua akan berlalu’ tegasku dalam hati ini.

***
            Suara air laut menghempas pantai, sensasi kakiku yang bermain pasir, angin yang membuat rambutku terayun kesana kemari, dan kulitku yang merasakan hangatnya matahari, hari ini udara seolah menawarkan kedamaian. Seingatku, pantai ini sangat indah dari terakhir yang kulihat, sebelum aku hanya bisa merasakannya sekarang bukan melihatnya. Dan saat ini, caraku melihatnya hanya dari bayangan pikiranku. Seperti biasa, aku mengandalkan ingatanku. Dulu, disisi kiri lepas pantai ini ada sebuah dermaga kecil yang sering sekali aku jadikan tempat bermain bersama Randu dulu. Namun sekarang dermaga itu sudah lapuk dimakan usia. Randu bilang, sudah tidak memungkinkan untuk kita ada diatasnya lagi. Sangat berbahaya.
            Aku mengangkat kepalaku keatas, merasakan angin dengan lembut berbisik berulang kali. Tongkatku sengaja kujatuhkan agar aku leluasa membuka lebar-lebar telapak tanganku untuk merasakan angin-angin menyentuhnya. Aku juga merasakan matahari yang hangat menyentuh kulitku, seperti sedang memasukkan sebuah semangat baru ke dalam diriku. Ada rasa kedamaian dihati ini menikmati semua yang ada. Rasa yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Aku merasakan bebas sekarang. Semua kekecewaan, seperti melebur. Walaupun baru hari kemarin Elang mengiris-iris hati dengan memberikan kabar bahwa ia akan menikah dengan seorang wanita di belahan dunia lain sana. Aku tidak ingin mengingat hal itu. Aku akan membiarkan waktu yang melakukan tugasnya. Tugasku, menikmati yang ada, melawan rasa takutku menghadapi kenyataan.
            “Cerah,,” suara Randu sayup-sayup kudengar.
            Aku diam saja, masih menikmati angin dan mendengarkan suara ombak.
            “Aku kira kamu sudah bunuh diri di dermaga,,” Randu terengah-engah disampingku.
            Aku tertawa geli mendengarnya. “Jangan berlebihan Randu,,”
            “Hei, kamu tahu kenapa kemarin bibir kiri atas Elang terluka?” Randu menyenggol bahuku.
            “Kenapa?” aku mengernyitkan alis.
            “Karena dia berani menunjukkan kartu undangan pernikahannya dihadapanku, aku langsung meninjunya,,”
Aku tertawa lepas. Jadi, setidaknya Randu sudah mewakilkan rasa sakit hatiku melalu tinjunya kepada Elang.
“Kamu aneh, semalam aku dengar kamu menangis dikamarmu sampai pagi,, sekarang malah tertawa lepas disini, jangan-jangan kamu sudah gila Cerah,,?”
“Kamu tahu Randu,, aku tidak menyangka berada dipantai itu sangat menyenangkan seperti ini,,”
“Lho? Selama ini kan kamu selalu menghabiskan waktu disini, kenapa baru sekarang menyadarinya?” aku tahu Randu akan bereaksi seperti ini.
“Karena selama ini dalam pikiranku hanya ada Elang. Hampir seluruh pikiranku hanya ada Elang dan banyak hal,, hingga aku tidak bisa menikmati apa yang ada dihadapanku sekarang. Pikiranku hanya menunggu dan menunggu tanpa merasakan sekelilingku,,”
“Ya,, hanya Elang dan Elang,, si burung tidak tahu diri itu,,” ucapnya jengkel.
“Tapi aku sudah bebas Randu, penjara pikiranku selama ini sudah terbuka, meskipun untuk membuka penjara ini memerlukan kenyataan pahit dan menyakitkan dari Elang,, tapi itu semua terbayar setimpal,,”
“Maksudmu?”
“Karena itu semua,, aku menjadi lupa menikmati hal yang indah-indah disekelilingku, sampai-sampai aku lupa menikmati bagaimana rasanya dicintai,,”
Randu terdiam mendengarku bicara.
            “Randu, kamu benar, menjadi bahan belas kasihan itu sangat tidak menyenangkan,,”         “Sebaiknya kita membahas yang lain,,”
            “Kamu benar, simpati saja tidak akan bisa membantu orang lain untuk bangkit dari keterpurukan,,”
            “Cerah, sudah kubilang, kita lebih baik membahas hal lain,,”
            “Kenapa kamu sangat baik kepadaku Randu?”
            Randu diam. Aku hanya mendengar suara ombak dan angin yang masih dengan nakal memainkan rambutku.
            “Karena berbuat baik pada orang lain itu mendapat pahala.” Jawab Randu tiba-tiba. “Orang tuaku mengajarkan, berbuat baik itu mendapat pahala,, ya, mungkin seperti itu,,” ucapnya lagi dua kali, seperti meyakinkan diri sendiri, bukan diriku.
            “Aku bisa merasakan keluargamu itu adalah keluarga penuh cinta Randu, bahkan saudaraku sendiri tidak mau mengurusku. Beruntung aku bisa bertemu kalian,,”
            “Itulah kenapa aku bilang, berbelas kasihan tidak akan bisa menolong siapapun kecuali tindakan. Saudara-saudaramu itu, hanya mengucapkan duka cita yang mendalam, tapi uluran tangannya tidak ada sama sekali. Bahkan untuk mengurus keponakan mereka sendiri, mereka enggan, menyedihkan memiliki keluarga seperti itu! Maaf,,”
            Begitulah Randu selalu apa adanya.
            “Terima kasih,,” aku mencari-cari tangannya.
            “Untuk?” Randu menangkap tanganku.
            “Untuk mencintaiku dalam diam,,”
            Randu terdiam, mungkin bertanya-tanya bagaimana aku bisa mengetahuinya perasaan terpendamnya selama ini.
            “Aku mendengar ocehan Ranting,, adikmu sungguh transparan, meskipun aku buta, aku bisa melihat kejujuran dari suaranya,,”
            Randu menendang pasir. “Cerah,, maaf aku menjadi merasa tidak enak,, kita bersahabat,, tapi aku malah merusaknya,,”
            “Pantas kita selalu berdebat mengenai cinta dan persahabatan lawan jenis selama ini,, jadi ini yang membuatmu bersikukuh kalau tidak akan ada sahabat laki-laki yang tidak jatuh cinta kepada sahabat wanitanya,,?”
            Randu menggumamkan sesuatu.
            “Ternyata merasa dicintai itu sangat menyenangkan,, aku baru menyadarinya,, maaf aku selama ini belum menyadarinya,,”
            “Sudahlah,, aku sudah merusak semuanya,,” ujarnya penuh rasa kecewa.
            “Kata siapa, justru kamu membawa hubungan  kita menjadi lebih tinggi satu level.”
            Randu lagi-lagi diam, dia banyak diam hari ini. Aku tau dia menatap ke arahku. Menatap penuh pertanyaan.
            “Aku ingin kamu terus menjagaku Randu,, itu kalau kamu tidak keberatan memiliki pasangan yang buta dan tidak cantik dibandingkan wanita-wanita yang selama ini mengejar-ngejarmu sampai-sampai sering sekali datang kerumah dan membawakan ini itu.” ocehku tanpa henti.
            Randu tertawa lepas. “Jadi selama ini kamu memperhatikan tingkah mereka,,?”
            Aku mengangkat bahu.
            “Kamu itu luar biasa ya Cerah,, kamu buta, tapi kamu bisa membaca situasi.”
            “Mereka pasti cantik-cantik, karena aku dengar dari adikmu, salah satu dari mereka adalah model majalah,,”
            Randu diam sejenak. Sekarang kami sudah duduk berdampingan diatas pasir dibawah teduhnya pohon kelapa. Randu yang membawaku kemari tadi saat aku mengoceh tanpa titik dan koma mengenai teman-teman wanitanya. Dia seperti tidak menggubris omonganku sama sekali.
            “Ya mereka cantik. Tapi aku tidak mengenal mereka dekat, dan tidak ada keinginan untuk mengenal jauh?” jawabnya kemudian.
            “Kenapa?”
            “Lagi pula, kamu lebih mudah untuk ku kenal.” Katanya tidak menjawab pertanyaanku.
            “Kenapa?”
            “Kalau kamu terus tanya kenapa? Aku tidak akan memuaskan rasa ingin tahumu itu, karena aku sendiri tidak tahu kenapa. Mungkin ini yang namanya cinta, tanpa alasan.”
            Aku merasakan panas diwajahku, pasti pipi ini mulai memerah.
            “Jadi kamu benar  mencintaiku Randu?”
            “Iya,,”
            “Apa buktinya?” aku menaikkan alis.
            “Yaaa tuhaann,, Cerah,,, masih kurang bukti memangnya?” ucapnya kesal.
            “Mana buktinya?”
            “Kamu tau, selama ini aku menerima kebutaanmu dengan ikhlas,, tapi sekarang, aku benar-benar ingin membuatmu untuk segera bisa melihat! Saat ini j-u-g-a!” katanya kesal.
            Aku memasang wajah tidak suka.
            “Profesiku itu adalah fotographer terkenal Cerah,, aku mengambil gambar untuk dinikmati orang lain! Seandainya kamu bisa melihat, sudah berapa banyak gambarmu yang ku potret dan kupajang didinding kamarku selama ini? Tuntutanmu untuk membuktikan cinta itu akan menjadi sangat mudah!” ucapnya sangat kesal.
            Aku tertawa lepas. Ya tuhan, aku bisa merasakan kebaikan hatimu saat ini. Lalainya aku hingga terlambat merasakannya, dan menyadari bahwa ternyata aku salah menilaiMu tuhan. Kau ada. Dan Kau memang sudah mengambil keluargaku yang sangat kusayangi, tapi Kau menukarnya dengan keluarga yang juga sama baiknya, dan Kau memang sudah mengambil penglihatanku, tapi kau menukarnya dengan seseorang yang pantas menjadi mataku disisa hidupku kedepan. Betapa rasa bersyukur itu ternyata menyenangkan.
            “Kenapa tertawa? Aku serius!” Randu tidak tahan mendengar tawaku.
            “Hahaha,, tidak, aku hanya tidak habis pikir, ternyata apa yang diceritakan oleh Ranting adikmu, itu ternyata benar semua,, aku kira dia hanya melebih-lebihkan,,”
            “Apa? Jadi Ranting menceritakan semuanya? S e m u a n y a ?”
            Aku mengangguk, dan lanjut tertawa.
            “Kamu tahu Cerah?”
            Aku berhenti tertawa untuk mendengarnya berargumen. “Apa?” tantangku.
            “Aku senang kamu masih disini, ditengah-tengah aku dan keluargaku,, terutama ditengah-tengah hidupku.”
            Aku menaikkan alis, memasang wajah menyebalkan.
            “Meskipun wajahmu sangat menyebalkan seperti itu.” Randu meraup wajahku, “seperti namamu, Cerah, kamu sangat terang dihati kami. Dengan caramu menghadapi semua ini sendirian. Mengobati hatimu sendirian. Rasa kehilangan yang kamu alami selama ini. Merasa terbuang karena ulah saudara-saudaramu. Tapi kamu masih disini. Memberikan aku sebuah titik terang, bahwa hidup itu bukan untuk tenggelam dilautan kehidupan. Namun untuk diperjuangkan. Aku ingat sewaktu kamu koma dirumah sakit tidak sadarkan diri. Dan para dokter sudah menyerah akan kondisimu. Sementara keluargamu sudah selesai dimakamkan, kamu masih terus berjuang untuk hidup waktu itu. Dan lihat, sekarang kamu hidup, walaupun matamu menjadi tidak bisa melihat terang. Tapi kamu menghadapi itu semua dengan sisa-sisa semangat yang kamu punya. Dan sekarang, aku melihat senyum itu mengembang,, seperti aku melihat tujuanku selama ini.”
            Aku tersenyum, “Jadi membuatku tersenyum seperti ini adalah tujuanmu?”
            “Bukan,, tapi membuatmu bahagia,,”
            Aku menyentuh wajahnya, “Terima kasih Randu, tapi ingat, apapun tujuanmu itu, jangan terlalu berambisi untuk meraihnya, kamu juga harus menikmati pemandangan yang disediakan tuhan diperjalanan menuju tujuan akhirmu,,”
            “Pasti,,” Randu lalu mengecup keningku.
            Saat ini, aku seperti merasa aku baru saja pulang setelah perjalanan jauh yang memutar-mutar.
***



Aku masih disini,

Bukan untuk meratapi angin.
Namun untuk menikmati angin.

Aku masih disini,

Bukan untuk menatap jejak-jejak dipasir.
Namun untuk membuat jejak baru.

Aku masih disini,,

Bukan untuk mendengarkan ombak menghempas-hempas.
Namun untuk mendengar ombak bernyanyi .

Terkadang, kita hanya perlu merubah cara pandang kita,,
Untuk bisa menikmati hidup,,
Meskipun dalam pekat.

Dan sepekat apapun hidup.


Kebahagiaanku ada didalamnya.

Total Pageviews

Blogger templates

 
;