sumber gambar : angellatachacha.blogspot.com
Saat semua mengabur,
ketika itu siluet bayangan yang sempat terekam
ingatanku justru terang menerawang.
Melangkahi jejak-jejak lepas pantai,
mengudara karena angin yang membuai berdesir.
Aku masih ada disini,
menantimu dalam hitungan tak tentunya waktu,
mengawali hari dalam penantian kemunculan bias terang matahari.
Melawan kehampaan dalam bening yang luas akan pekat.
Aku akan selalu disini…
Diam, dalam sela-sela tarikan nafas…
Menunggu, dengan seksama mendengarkan angin…
Berimajinasi, akan hal-hal prediksi yang tidak beraturan…
Dan angan-angan yang meninggikan harapan…
Sampai tiba pada waktu untuk menukar khayalan menjadi
kenyataan.
***
“CERAH,,”
Randu berteriak memanggilku. Ya, namaku adalah Cerah, sangat kontras dengan
kenyataan pahit yang ada dalam hidupku. “Cerah, ayo pulang, ada yang mencarimu
dirumah,,” kata Randu yang suaranya sudah ada disisi kiriku.
“Siapa?”
tanyaku. Hatiku melayang, wajahku tidak bisa menyembunyikan semburat
kebahagiaan akan sebuah harapan. Apakah Elang sudah kembali dari
pengembaraannya? Apakah dia sudah menemukan apa yang dicarinya? Apakah benar
dia yang mencariku dirumah? Dan apakah yang kunanti telah tiba?
“Ayo,, kita
harus segera pulang,,” Randu mengambil tangan kiriku.
Dengan dada
yang penuh sesak akan rasa yang sudah teraduk demikian hebatnya, aku mengikuti
Randu. Ia menggamit tanganku erat, seolah-olah aku akan lari dari tuntunannya.
“Ingat ya
Cerah, apapun atau siapapun yang kamu hadapi nanti,, kamu harus menahan diri,,”
Randu memberi peringatan.
“Memangnya
ada apa? Elang sudah pulang?”
Randu tidak menjawab, malah mengalihkan pembicaraan ke
sesuatu hal yang ganjil. “Cerah, kamu ingat sudah berapa lama kita bersahabat?”
tanyanya.
“Baru
sebelas tahun,, kenapa memangnya?” tanyaku mengerutkan alis.
“Selama
sebelas tahun itu, apakah aku pernah meninggalkan kamu sebagai sahabatku?”
tanyanya lagi. Kali ini sambil memberiku kode dengan gerakannya kalau ada batu kecil
yang menghalangi jalanku.
Aku
tersenyum mendengar pertanyaannya. “Aku tahu kamu tidak akan pernah seperti
itu,, itu bukan kamu sama sekali! Randu yang aku kenal itu, menyenangkan, keras
kepala dan selalu ada disaat aku membutuhkanmu,,”
Randu menepuk-nepuk
lenganku dan aku mendengarnya tertawa rendah. Itu artinya dia senang dengan
perkataanku.
“Kalau aku
bagaimana? Bukannya selama ini aku adalah sahabat yang menyusahkan untukmu?”
tanyaku kembali. Langkah Randu terhenti, otomatis langkahkupun ikut terhenti.
“Sahabat
itu bukan tentang siapa menyusahkan siapa. Iya memang kamu menyusahkan
kelihatannya, tapi itu untuk mata yang melihat hanya dari sebuah sisi yang
buram. Aku melihat situasi saling menyusahkan ini menjadi seperti saling
memahami. Jadi aku sama sekali tidak merasa direpotkan, jangan berfikir seperti
itu, ok?”
“Tapi
orang-orang bilang aku hanya menjadi bebanmu, apalagi semenjak,,,” kata-kataku
terputus karena Randu menggeram kesal.
“Urgh Cerah,
apa yang mereka katakan itu hanya dari apa yang mereka lihat bukan apa yang
mereka rasakan. Yang aku rasakan itu tidak sama dengan apa yang mereka katakan.
Kamu sendiri kan yang bilang, hanya dengan menjadi bagianlah, kita bisa dengan
bijaksana menilai. Sekarang aku tanya sama kamu, apa mereka sudah menjadi
bagian dari hidup kita, hingga membuat mereka merasa punya hak menjadi juri
dihidup kita?”
“Sudah,,”
jawabku sekenanya tanpa berfikir ulang.
“Sudah?
Sebagai apa? Figuran? Yang hanya memandang dengan mata belas kasihan ke kamu
tanpa berbuat apapun untuk membantumu? Kalau pada akhirnya belas kasihan itu
berubah seratus delapan puluh derajat menjadi merendahkan, aku lebih memilih
tidak akan menerima belas kasihan dari siapapun!”
“Tapi
setidaknya aku menghargai simpati mereka,,” ucapku membantah penilaian Randu.
“Simpati
tidak bisa mengangkatmu dari keterpurukan, ketika kita terpuruk, bukanlah belas
kasihan atau simpati yang kita butuhkan. Tapi uluran tangan,, kalaupun kita
tidak bisa memberikan bantuan, setidaknya berikan mereka segenggam semangat
yang kita punya, dan barisan doa yang tulus kita panjatkan tanpa ditulis di
status facebook atau twitter atau dijadikan status bbm hingga seluruh bumi
pertiwi tahu kalau kita sedang berbelas kasihan pada orang lain, sungguh menjijikan
sifat seperti itu!”
Aku bisa
merasakan saraf otot Randu sedikit menegang mengatakan ini. Aku tau betul
sifatnya, jika dia sudah seperti ini, itu tandanya Randu sangat serius dengan
ucapannya dan amarahnya mulai naik. Entah apa yang membuatnya menjadi cepat marah seperti itu.
“Jadi, siapa
yang datang menemuiku?” aku mengalihkan perhatiannya agar tidak semakin
memanas.
“Aku,,”
jawab suara berat yang sangat kuhafal diluar kepala. Randu kemudian melepas
tanganku.
“Aku
sebaiknya meninggalkan kalian berdua,,” kata Randu, yang langkahnya kudengar
segera menjauh.
Tanganku
seperti merasa kehilangan genggaman ketika Randu melepaskan tanganku dan
berlalu pergi.
“Ini aku
Cerah,,” suara berat itu.
Jantungku
berdetak cepat, aku mencoba sekali lagi meyakinkan diriku kalau aku barusan
tidak sedang berhalusinasi. Aku benar-benar mendengar suaranya. Dan bagaimana
bisa Randu malah meninggalkan kami hanya berdua?
“Apa kabar
Cerah?” suara berat itu kembali membuktikan eksistensinya. Seperti mencoba
mengatakan, kalau aku sedang tidak berhalusinasi.
Mendadak
wangi harum parfum yang sangat kukenal menyeruak masuk ke pernafasanku.
Tiba-tiba saja aku merasa sedang berada disuatu tempat yang dalam versiku,
kusebut itu dengan surga dunia. Ya, berada disisinya adalah seperti surga
bagiku. Aku akan selalu ingin berada disampingnya, merasakan sensasi yang
membuatku menagih untuk menuntut kebahagiaan yang sebenarnya tidak perlu ku
tagih. Rasa itu akan hadir dengan suka rela memenuhi kalbuku setiap dia ada.
“Kamu belum
menjawab pertanyaanku,,” sekarang suara berat itu tepat ada dihadapanku.
Aku
mengangkat tangan kananku. Pertama rahangnya yang simetris, pipinya yang sudah
mulai berisi, bulu matanya dan alisnya yang sejajar, dan aku masih bisa
mengingat matanya yang sedikit sayu namun tajam. Aku meraba itu semua dan
melihatnya dikedalaman pikiranku. Begitu ku sentuh bibirnya, “Aku baik,, kamu
sendiri gimana? Ada bekas luka disudut kiri bibir atasmu?” pertanyaanku menggantung,
keningku berkerut khawatir.
***
Selama ini
aku memang menantikan kehadirannya. Tapi jika kehadirannya justru malah
membawakanku sebuah luka baru yang mengenaskan, aku memilih untuk tidak
menunggunya selama ini.
Setelah
Elang menuturkan maksud kedatangannya kehadapanku dengan penuh ketetapan hati
yang kudengar dari tekanan suaranya. Itu membuatku sakit. Dunia ku yang sudah
gelap semakin gelap. Harusnya aku sadar diri agar tidak berkeras hati setia
menunggu kehadirannya, menantikannya dengan harapan yang membumbung kehamparan
langit diatasku. Tiga tahun penantian, yang malah pada akhir cerita mengulitiku
tanpa belas kasihan. Mungkin ini maksud dari pembicaraan Randu tadi. Elang
ternyata hanya kasihan padaku. Cinta itu hanya berupa bentuk belas kasihan.
Entah apa yang kurasakan, aku merasa malu hati dan sangat marah dikasihani oleh
Elang. Aku tidak selemah itu. Justru aku merasa aku diremehkan. Randu benar.
Sahabatku mengatakan kebenaran. Dikasihani sungguh menyakitkan terutama oleh
orang yang kamu kira benar-benar mencintaimu.
Malam ini
aku tidak ikut makan malam bersama keluarga Randu. Aku lebih memilih hanya
menyantap roti yang sebenarnya tidak ingin kulahap, aku hanya membutuhkan roti
itu untuk sekedar mengisi perutku yang kosong dan sekedar menghibur hati ibunda
Randu yang terdengar sangat khawatir dengan keadaanku. Ibu yang rela
menampungku dikeluarganya setelah sebuah kecelakaan membunuh seluruh
keluargaku.
Aku hanya
diam dikamar ini. Kamar yang mulai ku tempati semenjak sebuah kecelakaan
menimpa seluruh keluargaku. Kecelakaan yang membuat orang tuaku pergi menghadap
yang disebut orang-orang sekitarku dengan Sang Pencipta. Aku bahkan meragukan
eksistensinya. Kecelakaan yang membuat aku tidak lagi bisa menatap lawan
bicaraku, tidak lagi bisa melihat langit, tidak lagi bisa memilih warna kertas
untuk hobiku melipat kertas. Tidak lagi bisa berlari kencang merasakan angin
tanpa tersandung dan terjerembab, tidak lagi bisa melihat titik-titik hujan
yang berhamburan ke atas pasir pantai. Sekarang, aku hanya bisa menangis. Aku
tidak bisa lagi berbuat banyak hal. Aku bahkan tidak bisa dicintai lagi oleh
orang yang selama ini aku nantikan. Dan semua itu hanya disebabkan satu hal,
aku buta.
Aku bangkit
dari tempat tidurku. Aku menghapus air mataku yang bukannya berhenti malah
semakin deras mengalir. Baiklah, aku tidak mau berlarut-larut. Aku memutuskan
untuk mengalihkan pikiran cengengku dengan cara melakukan hobiku melipat
kertas.
Kakiku
menyentuh lantai marmer yang dingin. Aku kemudian mulai meraba pinggiran tempat
tidur dan mulai memetakan letak perabotan di kamar ini melalui pikiranku. Aku
merasakan sudut tempat tidur yang berbentuk bulatan, itu artinya sebentar lagi
aku akan sampai di sebuah meja yang diatasnya sudah tersedia kertas lipat. Ayah
Randu yang menaruhnya disana. Tanganku akhirnya menyentuh meja itu dan dapat
merasakan lembaran-lembaran kertas yang berserakan diatasnya, setelahnya tanganku
kembali mencari-cari kursi, tanpa susah payah aku langsung menemukannya.
Langsung saja aku mengambil selembar, dan langsung sibuk melipat-lipat. Sedikit
berhasil, kesedihan itu sedikit demi sedikit tersamarkan. Pikiranku bukan lagi
sibuk melarutkan diri dalam kepedihan, namun mulai sibuk mengingat-ingat
langkah setiap lipatan kertas ini. Merasakan lipatan melalui indera perabaku.
Aku memang
tidak bisa melihat, namun aku handal dalam hal melipat kertas menjadi bentuk
perahu. Setelah bosan dengan bentuk perahu berukuran besar, tanganku mencari
lagi kertas lipat berukuran sedang. Entah kertas berwarna apa yang kudapat, aku
kembali melebur dalam keasyikan sendiri melipat kertas. Aku seperti sedang
dialihkan ke tempat dimana isi kepalaku separuhnya berlayar bersama
perahu-perahu kertas yang kubuat. Semakin lama, semakin aku memaksa membuat
yang lebih kecil dengan kertas yang lebih kecil. Entah sudah berapa buah perahu
kertas ini ku buat, yang jelas, semakin banyak perahu kertas yang kubuat,
beban-bebanku semakin berlayar menjauh dariku, dibawa oleh perahu-perahu ini.
***
“Kakak
Cerah, kakak hebat ya, tanpa dengan melihat kakak bisa membuat perahu kertas
sebanyak ini,,” ujar Ranting, adik perempuan dari Randu, setelah kuajarkan dia
membuat perahu kertas pagi ini.
Aku masih
memasukkan satu persatu perahu kertas mini yang semalam kubuat entah sampai jam
berapa kedalam toples kaca yang berukuran sebesar kaleng biskuit. Beberapa yang
berukuran besar, diminta Ranting untuk menemaninya bermain nanti siang bersama
teman-temannya. Aku hanya tersenyum mendengarnya bicara. Selain membuat perahu
kertas, mendengar anak kecil usia menuju lima tahun bicara, juga meringankan
separuh beban hidupku. Entah kenapa, suara mereka yang menggemaskan, seperti
mengandung sihir yang memberi efek membius hatiku menjadi lebih sedikit santai.
Ditambah lagi suara itu berasal dari gadis kecil yang manis seperti Ranting.
“Kak,, kok
perahu sih? Kenapa bukan bunga?” tanya Ranting.
“Karena
kakak suka sekali dengan perahu,,,” jawabku sambil masih sibuk meraba-raba
mencari perahu kertas mini buatanku yang pastinya masih banyak berceceran
diatas meja ini.
“Kenapa
kakak suka sama perahu?” tanya ranting lagi.
“Memangnya
Ranting sukanya sama apa?”
Sebelum
menjawab pertanyaanku, aku agak terkejut merasakan dia tiba-tiba sudah
bergelayut dipinggangku.
“Aku mau
kasih tau kakak, tapi kakak jangan bilang siapa-siapa ya? Ini rahasia kita berdua!”
katanya malu-malu namun sedikit mengancam, membuatku tersenyum. “Aku sukanya
sama abang Elang,,” lanjutnya.
Aku
tertegun sejenak mendengar jawabannya. Bahkan seorang gadis kecil seperti
Ranting pun dengan mudahnya jatuh cinta pada Elang.
“Kenapa?”
“Ga tau
kak,, aku senang sama abang Elang gitu aja,,” suara polosnya dan ucapannya yang
jujur apa adanya, benar-benar menunjukkan kejujuran yang luar biasa. Aku
menjadi sadar akan apa itu cinta yang sebenarnya. Cinta adalah ketika kita
mencintai tanpa ada satupun alasan didalamnya. Sehingga tidak ada satu pun
alasan yang mampu membuat kita membenci cinta. Ranting secara tidak langsung
mengajarkanku hal ini. Pantas aku tidak bisa membenci Elang setelah apa yang
dia lakukan terhadapku.
Ucapan
Ranting, seperti menguak apa yang aku rasakan selama ini terhadap Elang.
“Kakak
belum menjawab pertanyaanku,,” katanya merengek.
“Pertanyaan
yang mana?” alisku berkerut. Sebenarnya aku ingat, hanya saja menyenangkan
untuk akting berpura-pura lupa dihadapannya.
“Kenapa
kakak suka sama perahu?”
Aku
menerawang sesaat sebelum menjawab pertanyaannya.
“Kenapa
perahu?” tanyaku ulang, sekedar membuat selang waktu untuk menyusun kata-kata
yang ada di kepalaku.
Ranting
tidak bersuara, aku menebak dia menganggukkan kepala. Persis seperti apa yang
Randu ceritakan padaku, adiknya ini akan mandadak tenang jika rasa ingin
tahunya sebentar lagi terjawab. Aku menyentuh kepala Ranting yang masih
bergelayut manja padaku.
“Karena
perahu itu berteman dengan ombak,,” jawabku singkat.
“Dengan
ombak? Kata bunda ombak itu berbahaya kak?”
“Iya
berbahaya,,”
“Tuh
kaannn,, berarti benar apa kata bunda,,”
“Tapi,
semua itu tergantung kita Ranting. Perahu sudah dilengkapi segala macam yang
kita perlukan, ada layar, ada dayung, ada peta navigasi,,”
“Untuk apa
itu semua?”
“Untuk kita
menghadapi ombak yang bisa saja tiba-tiba mengamuk dan menjadi jahat. Layar,
untuk kita mengatur angin yang akan mengajak kita mengarungi laut bebas. Ada
dayung, yang sangat baik hati membantu kita ketika angin sedang malas mengajak
kita mengarungi lautan,, dan terakhir, ada peta navigasi yang jika kita
tersesat, kita akan menemukan jalan pulang,,”
“Senjatanya
mana kak?”
“Senjata
apa?” aku bingung.
“Senjata untuk
melawan ombak yang jahat..” ucapnya polos.
“Ombak itu
tidak bisa dilawan dengan senjata,, yang harus kita lawan hanyalah rasa takut
kita ketika kemarahan ombak itu datang. Kita harus berani melawan rasa takut
kita ketika ombak seperti itu muncul,,”
“Aku tidak
takut sama ombak kak,, tapi kenapa bunda selalu melarangku bermain ombak yang
besar?”
“Karena
ombak besar bukan mainan Ranting sayang,,”
Ranting diam,
namun kemudian mengoceh kesana kemari, dan beberapa ocehannya yang tidak
terkontrol malah membuka sebuah rahasia yang selama ini aku tidak ketahui
menjadi sangat transparan.
Mendengar
suara Ranting, membuatku merasakan lebih baik dari hari berat kemarin. Aku
ingat sebuah istilah yang pernah Randu katakana, “Hari ini pun akan berlalu”.
Dan semua hal yang menyakitkan dihari kemarin sudah terjadi. ‘Ini semua akan
berlalu’ tegasku dalam hati ini.
***
Suara air laut menghempas pantai, sensasi kakiku yang
bermain pasir, angin yang membuat rambutku terayun kesana kemari, dan kulitku yang
merasakan hangatnya matahari, hari ini udara seolah menawarkan kedamaian.
Seingatku, pantai ini sangat indah dari terakhir yang kulihat, sebelum aku hanya
bisa merasakannya sekarang bukan melihatnya. Dan saat ini, caraku melihatnya
hanya dari bayangan pikiranku. Seperti biasa, aku mengandalkan ingatanku. Dulu,
disisi kiri lepas pantai ini ada sebuah dermaga kecil yang sering sekali aku
jadikan tempat bermain bersama Randu dulu. Namun sekarang dermaga itu sudah
lapuk dimakan usia. Randu bilang, sudah tidak memungkinkan untuk kita ada
diatasnya lagi. Sangat berbahaya.
Aku mengangkat kepalaku keatas, merasakan angin dengan
lembut berbisik berulang kali. Tongkatku sengaja kujatuhkan agar aku leluasa
membuka lebar-lebar telapak tanganku untuk merasakan angin-angin menyentuhnya.
Aku juga merasakan matahari yang hangat menyentuh kulitku, seperti sedang
memasukkan sebuah semangat baru ke dalam diriku. Ada rasa kedamaian dihati ini
menikmati semua yang ada. Rasa yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Aku
merasakan bebas sekarang. Semua kekecewaan, seperti melebur. Walaupun baru hari
kemarin Elang mengiris-iris hati dengan memberikan kabar bahwa ia akan menikah
dengan seorang wanita di belahan dunia lain sana. Aku tidak ingin mengingat hal
itu. Aku akan membiarkan waktu yang melakukan tugasnya. Tugasku, menikmati yang
ada, melawan rasa takutku menghadapi kenyataan.
“Cerah,,” suara Randu sayup-sayup kudengar.
Aku diam saja, masih menikmati angin dan mendengarkan
suara ombak.
“Aku kira kamu sudah bunuh diri di dermaga,,” Randu
terengah-engah disampingku.
Aku tertawa geli mendengarnya. “Jangan berlebihan
Randu,,”
“Hei, kamu tahu kenapa kemarin bibir kiri atas Elang
terluka?” Randu menyenggol bahuku.
“Kenapa?” aku mengernyitkan alis.
“Karena dia berani menunjukkan kartu undangan pernikahannya
dihadapanku, aku langsung meninjunya,,”
Aku tertawa
lepas. Jadi, setidaknya Randu sudah mewakilkan rasa sakit hatiku melalu
tinjunya kepada Elang.
“Kamu aneh,
semalam aku dengar kamu menangis dikamarmu sampai pagi,, sekarang malah tertawa
lepas disini, jangan-jangan kamu sudah gila Cerah,,?”
“Kamu tahu
Randu,, aku tidak menyangka berada dipantai itu sangat menyenangkan seperti ini,,”
“Lho?
Selama ini kan kamu selalu menghabiskan waktu disini, kenapa baru sekarang
menyadarinya?” aku tahu Randu akan bereaksi seperti ini.
“Karena
selama ini dalam pikiranku hanya ada Elang. Hampir seluruh pikiranku hanya ada
Elang dan banyak hal,, hingga aku tidak bisa menikmati apa yang ada dihadapanku
sekarang. Pikiranku hanya menunggu dan menunggu tanpa merasakan sekelilingku,,”
“Ya,, hanya
Elang dan Elang,, si burung tidak tahu diri itu,,” ucapnya jengkel.
“Tapi aku
sudah bebas Randu, penjara pikiranku selama ini sudah terbuka, meskipun untuk
membuka penjara ini memerlukan kenyataan pahit dan menyakitkan dari Elang,,
tapi itu semua terbayar setimpal,,”
“Maksudmu?”
“Karena itu
semua,, aku menjadi lupa menikmati hal yang indah-indah disekelilingku,
sampai-sampai aku lupa menikmati bagaimana rasanya dicintai,,”
Randu
terdiam mendengarku bicara.
“Randu, kamu benar, menjadi bahan belas kasihan itu
sangat tidak menyenangkan,,” “Sebaiknya
kita membahas yang lain,,”
“Kamu benar, simpati saja tidak akan bisa membantu orang
lain untuk bangkit dari keterpurukan,,”
“Cerah, sudah kubilang, kita lebih baik membahas hal
lain,,”
“Kenapa kamu sangat baik kepadaku Randu?”
Randu diam. Aku hanya mendengar suara ombak dan angin
yang masih dengan nakal memainkan rambutku.
“Karena berbuat baik pada orang lain itu mendapat
pahala.” Jawab Randu tiba-tiba. “Orang tuaku mengajarkan, berbuat baik itu
mendapat pahala,, ya, mungkin seperti itu,,” ucapnya lagi dua kali, seperti
meyakinkan diri sendiri, bukan diriku.
“Aku bisa merasakan keluargamu itu adalah keluarga penuh
cinta Randu, bahkan saudaraku sendiri tidak mau mengurusku. Beruntung aku bisa
bertemu kalian,,”
“Itulah kenapa aku bilang, berbelas kasihan tidak akan
bisa menolong siapapun kecuali tindakan. Saudara-saudaramu itu, hanya
mengucapkan duka cita yang mendalam, tapi uluran tangannya tidak ada sama
sekali. Bahkan untuk mengurus keponakan mereka sendiri, mereka enggan,
menyedihkan memiliki keluarga seperti itu! Maaf,,”
Begitulah Randu selalu apa adanya.
“Terima kasih,,” aku mencari-cari tangannya.
“Untuk?” Randu menangkap tanganku.
“Untuk mencintaiku dalam diam,,”
Randu terdiam, mungkin bertanya-tanya bagaimana aku bisa
mengetahuinya perasaan terpendamnya selama ini.
“Aku mendengar ocehan Ranting,, adikmu sungguh
transparan, meskipun aku buta, aku bisa melihat kejujuran dari suaranya,,”
Randu menendang pasir. “Cerah,, maaf aku menjadi merasa
tidak enak,, kita bersahabat,, tapi aku malah merusaknya,,”
“Pantas kita selalu berdebat mengenai cinta dan
persahabatan lawan jenis selama ini,, jadi ini yang membuatmu bersikukuh kalau
tidak akan ada sahabat laki-laki yang tidak jatuh cinta kepada sahabat
wanitanya,,?”
Randu menggumamkan sesuatu.
“Ternyata merasa dicintai itu sangat menyenangkan,, aku
baru menyadarinya,, maaf aku selama ini belum menyadarinya,,”
“Sudahlah,, aku sudah merusak semuanya,,” ujarnya penuh
rasa kecewa.
“Kata siapa, justru kamu membawa hubungan kita menjadi lebih tinggi satu level.”
Randu lagi-lagi diam, dia banyak diam hari ini. Aku tau
dia menatap ke arahku. Menatap penuh pertanyaan.
“Aku ingin kamu terus menjagaku Randu,, itu kalau kamu
tidak keberatan memiliki pasangan yang buta dan tidak cantik dibandingkan
wanita-wanita yang selama ini mengejar-ngejarmu sampai-sampai sering sekali
datang kerumah dan membawakan ini itu.” ocehku tanpa henti.
Randu tertawa lepas. “Jadi selama ini kamu memperhatikan
tingkah mereka,,?”
Aku mengangkat bahu.
“Kamu itu luar biasa ya Cerah,, kamu buta, tapi kamu bisa
membaca situasi.”
“Mereka pasti cantik-cantik, karena aku dengar dari
adikmu, salah satu dari mereka adalah model majalah,,”
Randu diam sejenak. Sekarang kami sudah duduk
berdampingan diatas pasir dibawah teduhnya pohon kelapa. Randu yang membawaku
kemari tadi saat aku mengoceh tanpa titik dan koma mengenai teman-teman
wanitanya. Dia seperti tidak menggubris omonganku sama sekali.
“Ya mereka cantik. Tapi aku tidak mengenal mereka dekat,
dan tidak ada keinginan untuk mengenal jauh?” jawabnya kemudian.
“Kenapa?”
“Lagi pula, kamu lebih mudah untuk ku kenal.” Katanya
tidak menjawab pertanyaanku.
“Kenapa?”
“Kalau kamu terus tanya kenapa? Aku tidak akan memuaskan
rasa ingin tahumu itu, karena aku sendiri tidak tahu kenapa. Mungkin ini yang
namanya cinta, tanpa alasan.”
Aku merasakan panas diwajahku, pasti pipi ini mulai
memerah.
“Jadi kamu benar mencintaiku Randu?”
“Iya,,”
“Apa buktinya?” aku menaikkan alis.
“Yaaa tuhaann,, Cerah,,, masih kurang bukti memangnya?”
ucapnya kesal.
“Mana buktinya?”
“Kamu tau, selama ini aku menerima kebutaanmu dengan
ikhlas,, tapi sekarang, aku benar-benar ingin membuatmu untuk segera bisa
melihat! Saat ini j-u-g-a!” katanya kesal.
Aku memasang wajah tidak suka.
“Profesiku itu adalah fotographer terkenal Cerah,, aku
mengambil gambar untuk dinikmati orang lain! Seandainya kamu bisa melihat,
sudah berapa banyak gambarmu yang ku potret dan kupajang didinding kamarku
selama ini? Tuntutanmu untuk membuktikan cinta itu akan menjadi sangat mudah!”
ucapnya sangat kesal.
Aku tertawa lepas. Ya tuhan, aku bisa merasakan kebaikan
hatimu saat ini. Lalainya aku hingga terlambat merasakannya, dan menyadari
bahwa ternyata aku salah menilaiMu tuhan. Kau ada. Dan Kau memang sudah
mengambil keluargaku yang sangat kusayangi, tapi Kau menukarnya dengan keluarga
yang juga sama baiknya, dan Kau memang sudah mengambil penglihatanku, tapi kau
menukarnya dengan seseorang yang pantas menjadi mataku disisa hidupku kedepan.
Betapa rasa bersyukur itu ternyata menyenangkan.
“Kenapa tertawa? Aku serius!” Randu tidak tahan mendengar
tawaku.
“Hahaha,, tidak, aku hanya tidak habis pikir, ternyata
apa yang diceritakan oleh Ranting adikmu, itu ternyata benar semua,, aku kira
dia hanya melebih-lebihkan,,”
“Apa? Jadi Ranting menceritakan semuanya? S e m u a n y a
?”
Aku mengangguk, dan lanjut tertawa.
“Kamu tahu Cerah?”
Aku berhenti tertawa untuk mendengarnya berargumen.
“Apa?” tantangku.
“Aku senang kamu masih disini, ditengah-tengah aku dan
keluargaku,, terutama ditengah-tengah hidupku.”
Aku menaikkan alis, memasang wajah menyebalkan.
“Meskipun wajahmu sangat menyebalkan seperti itu.” Randu
meraup wajahku, “seperti namamu, Cerah, kamu sangat terang dihati kami. Dengan
caramu menghadapi semua ini sendirian. Mengobati hatimu sendirian. Rasa
kehilangan yang kamu alami selama ini. Merasa terbuang karena ulah
saudara-saudaramu. Tapi kamu masih disini. Memberikan aku sebuah titik terang,
bahwa hidup itu bukan untuk tenggelam dilautan kehidupan. Namun untuk
diperjuangkan. Aku ingat sewaktu kamu koma dirumah sakit tidak sadarkan diri. Dan
para dokter sudah menyerah akan kondisimu. Sementara keluargamu sudah selesai
dimakamkan, kamu masih terus berjuang untuk hidup waktu itu. Dan lihat, sekarang
kamu hidup, walaupun matamu menjadi tidak bisa melihat terang. Tapi kamu
menghadapi itu semua dengan sisa-sisa semangat yang kamu punya. Dan sekarang,
aku melihat senyum itu mengembang,, seperti aku melihat tujuanku selama ini.”
Aku tersenyum, “Jadi membuatku tersenyum seperti ini
adalah tujuanmu?”
“Bukan,, tapi membuatmu bahagia,,”
Aku menyentuh wajahnya, “Terima kasih Randu, tapi ingat,
apapun tujuanmu itu, jangan terlalu berambisi untuk meraihnya, kamu juga harus
menikmati pemandangan yang disediakan tuhan diperjalanan menuju tujuan
akhirmu,,”
“Pasti,,” Randu lalu mengecup keningku.
Saat ini, aku seperti merasa aku baru saja pulang setelah
perjalanan jauh yang memutar-mutar.
***
Aku masih disini,
Bukan untuk meratapi angin.
Namun untuk menikmati angin.
Aku masih disini,
Bukan untuk menatap jejak-jejak dipasir.
Namun untuk membuat jejak baru.
Aku masih disini,,
Bukan untuk mendengarkan ombak menghempas-hempas.
Namun untuk mendengar ombak bernyanyi .
Terkadang, kita hanya perlu merubah cara pandang
kita,,
Untuk bisa menikmati hidup,,
Meskipun dalam pekat.
Dan sepekat apapun hidup.
Kebahagiaanku ada didalamnya.