Apr 4, 2013

Pemulung Harapan,,,




Salah satu sifat manusia yang tidak bisa dihilangkan namun ingin sekali saya hapus dari dalam diri saya adalah ketidak puasan.Ya,, saya tau itu tidak mungkin. Karena ini  sudah menjadi dasar sifat manusia. Tapi apa kita menyadari? Apa yang melatar belakangi sifat ketidak puasan ini? Itu adalah keinginan yang berbuah harapan. Keinginan demi keinginan,, Harapan demi harapan,, pelan namun pasti membuat kita haus akan sebuah pencapaian.

Ya,, selama ini, jujur saja. Saya haus akan sebuah pencapaian. Pencapaian yang akan membuat orang tua saya bangga. Pencapaian yang tidak akan ada lagi yang bisa merendahkan kami sebagai orang yang kalah. Bukan kalah dalam pertaruhan, tapi kalah dalam melawan suara-suara dalam hati saya yang terus berteriak saya adalah orang yang kalah. PECUNDANG. Itu hal terbesar yang mengganggu saya.

Banyak dari kalian yang sudah berhasil melewati ini semua dan menjadi pemenang. Menjadi seorang pemenang dalam pencapaian harapan. Selamat! Dan saya tau ada dari kalian juga merasakan seperti saya yang BELUM, bukan tidak, menjadi pemenang dalam sebuah pencapaian. Jangan berkecil hati. Terus saja melangkah,, nikmati telapak kaki telanjang kalian menginjak kerikil-kerikil tajam permasalahan yang terinjak,, nikmati semua tanjakan yang membuat kaki kalian lelah dan ingin rasanya berselonjor diatas sofa angan-angan yang empuk. Jangan hiraukan suara-suara mereka yang sumbang menahanmu untuk tetap melangkah. Tapi dengarkan bisikan-bisikan halus pemberi semangat mereka yang mencintaimu, bukan yang membencimu. Dari situ kita tau, membuat jejak baru atau mengikuti jejak lain yang sudah ada untukmu melanjutkan langkah. Inilah yang namanya perjalanan menuju harapan.

Suatu waktu sepulang dari sebuah perjalan. Saya dan seorang kawan melewati sebuah pembuangan sampah. Disana terlihat beberapa pemulung sampah yang dibawah terik matahari terus giat mengais rejeki yang disediakan tuhan untuk mereka. Tiba-tiba teman saya mengeluarkan komentar yang tidak mengenakkan dan mengganggu sekali ditelinga saya. "Ya ampun liat deh tu orang,, panas-panas gini masih aja nyari sampah! pasti dulu dia sekolahnya males, makanya masa depannya cuma jadi seorang pemulung sampah!" lalu dia tersenyum sinis. Saya malas membalas komentarnya yang merendahkan orang lain seperti itu. Tapi semakin didiamkan dia semakin menjadi. "Lagian tu orang, males banget nyari kerja,, kalau jadi pemalas, itulah akibatnya, hidupnya jadi gembel,pengemis,,," tambahnya.

Telinga saya, hati saya mulai berasap mendengar omongannya yang tidak mengenakkan. Akhirnya mulut ini pun beraksi. "Kamu mau ga ngelakuin yang orang itu kerjain sekarang?" tanya saya. "Iiiih! Males banget!" sahutnya cepat. "Berarti kamu yang pemalas. Dia walaupun panas terik seperti ini tetap melakukan pekerjaannya. Sedangkan kamu? Kamu sendiri kan yang bilang kamu malas?" 

Mendengar perkataan saya, temanku itu mengernyitkan dahi. Kemudian menatap saya dengan sinis,"Yang pemulung itu dia,, bukan aku!"

Aku menarik nafas panjang untuk bersiap mengeluarkan argumen keduaku. "Memangnya kamu pikir, dia mau menjadi seperti itu? Siapapun manusia di bumi ini tidak ada yang memiliki cita-cita serata tanah,pasti kita semua memiliki cita-cita setinggi angkasa. Tapi, tidak semua orang bisa mewujudkannya semudah itu. Banyak hal yang harus dilakukan untuk itu semua,ditambah semua kesulitan didalamnya. Siapa kamu yang bisa menghakimi kehidupan mereka? Memangnya selama ini kamu yang membiayai sekolah mereka? Sehingga membuatmu mudah mengeluarkan perkataan yang jika mereka mendengar akan membuat mereka sakit hati dan marah. Seolah-olah selama ini kamu yang membiayai hidup mereka dan terkesan mereka telah menyia-nyiakan  jasamu itu? Memangnya apa jasamu selama ini untuk kehidupan mereka?" Tanyaku.

Teman saya itu mendengus kesal mendengar perkataan saya dan tidak membuat saya gentar untuk melanjutkan perkataan saya selanjutnya.

"Mereka sama seperti kita,,memangnya kita apa? Kita juga pemulung,mereka pemulung,, pemulung harapan.  Dari setiap sampah yang mereka kumpulkan terselip ribuan harapan didalamnya. Begitu juga kita,, disetiap pekerjaan yang kita kerjakan pastinya terselip juga harapan yang ingin dicapai. Lalu apa bedanya mereka sama kita? Kita sama-sama pemulung harapan. Tidak pantas kita merendahkan siapapun seperti itu." 
 
Entah bagaimana rangkaian kata Pemulung harapan keluar dari mulut saya sewaktu itu. Spontan saya menyebutkan kalimat itu dan memikirkannya dimalam-malam hari saya berikutnya. 
Pemulung harapan,, ya, tidak ada yang salah dengan kalimat ini,,
Bukankah kita setiap harinya mengumpulkan harapan yang baru,,
Memulung satu harapan yang satu dan satu lagi di tumpukan kehidupan kita? Tidak ada yang salah dengan kalimat ini,, Kita memang seorang pemulung harapan di tumpukan hari-hari kehidupan ini kan?
 




"Bahkan sebuah tunas dikegersangan tanahpun adalah seorang pemulung harapan,, Harapan untuk tumbuh dan bermanfaat di setiap helai daun kehidupan,,"
winda-pemulung harapan.

 

0 komentar:

Post a Comment

Total Pageviews

Blogger templates

 
;