Apr 28, 2013 0 komentar

With? and Where?

“Lalu sekarang apa?”
“Aku ingin minta maaf,,”
“Tidak ada yang salah dengan keadaan ini Randu, kamu tidak perlu minta maaf”
“Kalau tidak ada yang salah dengan keadaan ini,, kenapa kamu memutuskan hubungan yang sudah jauh dan lurus kita tempuh dengan susah payah ini?”
“,,,,,,”
“Elang,, aku mohon,pertimbangkan kembali,, tidak akan ada satu alasan apapun untuk kamu memilih berjalan sendiri tanpa aku diperjalanan yang sudah separuh ini,,,”
“Dari mana kamu tau, kalau aku tidak ada satu alasan apapun untuk memilih menempuh perjalanan ini sendiri? Sedangkan selama ini kita tidak pernah berjalan beriringan,,, kamu selalu memilih berada dibelakangku,, dan ketika ku menoleh, kamu sedang berbelok dan singgah di tempat lain?”
“,,,,,,”
“Bagaimana Randu? Apa jawabanmu atas keadaan ini?”
“Maafkan aku Elang, aku tidak tau kalau kamu ternyata mengetahui ini semua,,, Hanya saja aku tidak bisa mengejarmu untuk menyamai langkahmu,, kamu terlalu cepat melesat, sehingga ku merasa langkahku tertinggal olehmu,,”
“Apa itu alasanmu berbelok?”
“Ya,, tapi aku minta maaf Elang,, aku tidak bermaksud membohongimu,, aku hanya lelah dan ingin singgah beristirahat sejenak,,”
“Kamu membuatku seperti berada dipersimpangan jalan tanpa arah tujuan Randu,, membingungkanku atas sikapmu. Ketika dahulu kumenyamai langkahmu agar bisa bersejajar denganmu, kamu terus mengeluh perjalanan kita terasa sangat sulit dilalui. Karena itulah aku kemudian memutuskan untuk berjalan lebih cepat darimu agar bisa membuka jalan yang sulit ini untukmu agar mudah dilalui,, tapi begitu kumenoleh kebelakang dan hendak mempersilahkan orang yang kucintai menikmati hasil jerih payahku membuka jalan sulit ini,, dia malah sedang berbelok kearah lain,,”

***



Pastikan dengan siapa perjalanan ini ditempuh dan menuju kemana perjalanan ini kan ditempuh?
sebuah hal yang sulit ditetapkan ,tapi begitu salah menetapkan, 
hanya akan menjadi perjalanan sia-sia,,
yang membawa kenangan buruk 
dan 
memaksa kita kembali berdamai dengan masa lalu buruk yang tidak mudah itu
lalu memulai perjalanan baru lagi dari titik nol,, 

bukankah
 ini
hanya
 akan
 melelahkan?

Hanya satu yang dibutuhkan untuk itu semua,,

"KEBERANIAN"

yang sampai saat ini masih belum saya miliki,,
-winda-




Apr 19, 2013 0 komentar

Tanpa alasan,,

Saat mencintaimu menjadi sulit,,
Aku yakin itu bukan cinta,,
Saat mencintaimu menjadi tepis,,
Aku yakin itu bukan cinta,,
Saat kegalauan membahana sebuah relung,,
Aku yakin aku mengada-ada,,

Kenapa?
Aku tidak tau,,
Apa?
Aku tidak tau,,

Walaupun hingga kebebasan fikiranku pun dikurung dan dicambuk ,,
Aku tidak tau,,
Walaupun aku berimajinasi mengarang kata-kata untuk memuaskanmu,,
Aku tidak tau,,
Tetap tidak tau,,
Karena cinta muncul tanpa alasan,,

Bukan karena harum tubuhnya,,
Bukan karena kebiasaannya,,
Bukan karena perilakunya,,
Bukan karena caranya memandang,,

Tapi,,
Aku tidak tau,,
 Ku tulus merasakan ini,,
Bersih dan jernih,,

Polos,,
 Tanpa penutup,,

Terbuka,,
Pancaran mataku mengumbarnya,,

Tanpa alasan,,
Rasa ini timbul begitu saja,,
 
Ada,,
Tiba-tiba hadir,,
Tanpa alasan,,
 Lahir berdasarkan pembuktian ke Maha-an Tuhan,,
Bahwa rasa ini,,
bernama c i n t a

"Ketika datang tanpa alasan,, dan ku tidak ada alasan tuk pergi,,"
It's L o v e 
-winda-

 
 







Apr 15, 2013 0 komentar

Saya memang belum jadi apa-apa,,


Saya sangat kesal jika diajukan sebuah pertanyaan seperti ini. 

"Siapa kamu yang sudah berani bicara seperti itu? Sudah jadi apa kamu memangnya berani berpendapat seperti itu?" 

Jujur jika saya mendapatkan pertanyaan seperti itu. Saya akan menjawab dengan lantang,,

"Saya winda, dan saya sudah menjadi seorang manusia sejak saya dilahirkan kedunia sama seperti anda."

Untungnya, bukan saya yang menghadapi pertanyaan seperti itu hari ini. Tapi seorang sahabat saya yang memiliki sikap santun dari pada siapapun yang saya kenal, yang menghadapinya. Saya mendengar curahan hatinya dengan penuh kegeraman didalam hati. 

Memangnya untuk bicara dengan orang lain siapapun itu,, harus menjadi sesuatu dulu untuk didengar? Dewasalah,, jangan terlalu arogan menjalani hidup. Bagi kalian yang menganggap wajar untuk bebicara seperti itu. Saran saya segera ubah pandangan kalian sebelum malah kalian yang tidak didengarkan orang lain.


Allah menciptakan kita dua buah mata dengan tujuan untuk melihat segala sudut dari dua sisi. 
Dua buah telinga untuk mendengar banyak hal,, dan satu buah mulut untuk bicara hal yang baik,bukan merendahkan orang lain.


Kalau untuk berbicara saja kita harus menjadi 'sesuatu' dulu baru bicara. Bagaimana jadinya? Akan banyak sekali orang gagu untuk menyuarakan keinginan dan suasana hati. 

Kalau untuk menyampaikan keinginan saja kita harus menjadi 'sesuatu' dulu,, lalu bagaimana caranya? Pakai bahasa isyarat? atau telepati?

Hellow,, jangan persempit cara pandang kita melihat sesuatu. Siapapun kita,dimanapun kita berhak bicara! Tentunya dalam konteks yang masih sopan dan sesuai dalam situasi keadaan yang mendukung. Jangan salah kaprah.

Saya pernah melihat sebuah kejadian yang situasinya seperti ini.
 
Ketika saya menemani ibu saya belanja kepasar. Saya melihat seorang kakek-kakek lusuh dan bungkuk memegang kantung beras kosong ditangannya. Disetiap kios yang ia lewati, tangannya selalu menadah koin recehan dari para dermawan. Dalam setiap koin receh yang ia dapatkan, ia selipkan doa penuh berkah untuk para dermawan-dermawan itu, walaupun yang diberikan tidak seberapa tapi mulutnya terus komat-kamit mengucapkan terima kasih dan doa tulus yang terucap.

Sampai ketika ia tiba dikios yang berjualan ayam potong. Dia memanggil si penjual. Tapi si penjual tidak mendengar, tepatnya, pura-pura tidak mendengar. Si pemilik kios tersebut terlihat sekali merasa terganggu akan penampilan kakek tersebut. Belum sempat si kakek bicara dia sudah mengumpat caci maki yang tidak pantas diucapkan. Menghina sang kakek yang pekerjaannya hanya meminta-minta. Terus dan terus ia memaki. Tanpa sepeserpun logam receh ia berikan. Sang kakek tampak sangat tegar menghadapi manusia arogan tersebut. Sampai dititik ketika si penjual lelah merendahkan si kakek, si kakek angkat bicara.

"Saya hanya lewat sini pak, bukan mau mengemis,, kebetulan saya lewat sini,dan saya melihat tempat uang bapak barusan dikorek sama orang,,saya manggil bapak cuma mau ngasih tau,, maaf ganggu,, permisi. Terima kasih caci makinya,, semoga bapak selalu dikasih rejeki yang melimpah ya pak,, aminnn"

Hmm,, Subhanallah. 

Betapa arogansi tidak membuahkan apapun. Kalau saja si pemilik kios tersebut tidak berfikir negatif terlebih dahulu tentang si kakek, pastinya kotak penyimpanan uang hasil dagangnya tidak akan raib di gondol maling. 

Apa salahnya mendengar?  Toh dengan mendengar bukan berarti kita harus melakukannya kan? Setidaknya dengarkan orang lain bicara, bagaimanapun bentuk fisiknya, cara berpakaiannya,apapun pekerjaannya,,, DENGARKAN! 





"Sudah jadi apa kamu hingga bisa berpendapat seperti itu?"
  
Jika kamu ditanya seperti itu, jawab seperti ini.

"Saya memang belum apa-apa dibandingkan anda,, kalau begitu maaf, saya sudah salah mengira, saya kira orang besar seperti anda memiliki pemikiran lebih terbuka dari pada orang kecil seperti saya,,biar saya mencari orang besar lain yang lebih cerdas yang lebih bisa menjadi panutan orang lain. Terima kasih"

 Atau,,

jika menurut kamu menjawab bukanlah hal yang tepat. Cukup diam saja,, tarik nafas panjang istighfar dalam hati. Kemudian jauh-jauhlah dari orang seperti itu.

Manusia yang selalu menganggap dirinya lebih sempurna dari pada orang lain,, sama aja kaya syaitonirojim,,

"Aku lebih baik dari padanya, Engkau menciptakan aku dari api dan Engkau menciptakankannya dari tanah" (Al-A’raaf: 12)

 setan dari api,, manusia dari tanah,, Si api selalu angkuh merasa lebih baik dari si tanah.

Tapi inget ya,, jangan salah kaprah dengan argumen saya diatas. 

Semua orang yang sudah 'jadi',, mereka sudah melalui berbagai macam proses yang terdapat ribuan kesulitan didalamnya. Hargai itu. Jangan sampai kita merasa iri hati akan kesuksesan orang lain hingga membuat kamu berargumen yang tidak-tidak tentang mereka.

Ambil sisi baik yang bisa kita ambil dari mereka, dan tinggalkan sisi negatif.  Sebenarnya semua manusia itu punya sisi baik kok,, tergantung dari mana kita melihat sudut pandangnya. 


"Banyak mendengar,sedikit berbicara,dan bertindak,itu memang lebih baik,, 
tapi jika kemudian kita menjadi tidak berani bersuara
hanya karena takut ditanya "SIAPA KAMU SUDAH BERANI BICARA SEPERTI ITU?" 
tandanya
mental kita cetek!"
-winda-
 

 





 
Apr 13, 2013 0 komentar

Ini janjiku Raya,, -Cuplikan-

"Aku sudah pernah berjanji padamu bukan?" Fe berkata bukan tanpa emosi, terlihat dan terdengar dari raut wajahnya dan suaranya yang penuh akan rasa kecewa. Aku melihat air mata itu menggenang dibola matanya nan indah. Mati-matian dia berusaha agar tetesannya tidak jatuh hingga membuatnya luluh dan menghapus ketetapan hatinya yang ia panggul dengan susah payah.

"Boleh aku minta kamu tarik kembali janjimu itu?" pintaku.

"Tidak."

*      *      *

Akhirnya aku bisa mendapatkan seorang wanita yang lama kuincar. Dia Fe, sosok wanita bermata indah dan memiliki pandangan yang jauh berbeda dari wanita-wanita yang pernah kudekati. Kami sudah menyatukan hati kami hampir setengah tahun.

"Kenapa kamu melihatku seperti itu Raya?" Tanya Fe yang masih sibuk dengan segala atribut jurnalistik ditangannya. Tidak seperti wanita lain yang pernah kudekati, biasanya mereka akan salah tingkah dan tersipu-sipu malu jika ku tatap dengan tatapan yang mampu membuat luluh mereka. Tapi tidak dengan Fe. Dia memang sadar sedang kuperhatikan, tapi dia mengacuhkannya.

"Kamu cantik,," Ujarku. Well,, biasanya begitu aku melancarkan serangan ini, pipi wanita akan memerah seperti kulit apel.

Fe ternyata tidak mendengarkan aku. "Raya, kamu udah makan? Aku laper seharian belum makan gara-gara ngejar nara sumber nih,,!"

Aku menyerah,, "Oke, ayo kita makan." Sahutku tidak semangat.

Ditempat makan, aku dan Fe duduk berdampingan. Kami makan di warung pinggir jalan yang tidak biasanya ku datangi dengan seorang wanita cantik. Kalau bersama teman,, okelah,,. Tapi kalau untuk kencan dengan seorang wanita, biasanya aku akan jaga gengsi dengan mengajak mereka ke resto high class. Tapi tidak dengan Fe. Wanita yang satu ini malah tidak mau menginjakkan kaki ke resto yang kutunjuk.

"Kamu kenapa ga mau makan ditempat yang tadi sih Fe? Kan lebih cozy suasananya,trus lebih enak lagi makanannya,, lebih bersih pula,," Tanyaku begitu kami selesai memesan makanan.

"Makan aja dulu yuk,, aku laper,, ngobrolnya nanti aja,,"

Dengan kesal aku menghabiskan makananku begitu dihidangkan. Oke,, aku mulai kesal dengan keadaan seperti ini dan mulai bosan dengan keadaan.

*      *      *

Keesokan harinya,,

"Fe? Kamu dimana?" Tanyaku di telphone.

"Aku masih di kantor redaksi Ray,, kenapa?"

"Apa?!!! Kamu gimana sih! Kata kamu hari ini ga jadi kesana? Terus gimana sama janji kita?"

"Iya maaf aku harus ngumpulin naskah yang telantar,, kamu sama temen-temen aja nontonnya, aku masih belum bisa pulang, abis ini mau ada kegiatan lagi,,"

"Oke!" Aku langsung menutup telphone. Benar-benar membuatku emosi. Bagaimana bisa Fe tidak menepati janjinya padaku? Hah,, sudahlah. Aku pun mencari-cari nama lain di kontak telephone genggamku. Regina,, YA! The another one. Lebih seru daripada Fe yang sedang sibuk sendiri itu.

*      *      *

Regina hari ini tampak modis. Torehan make up diwajahnya membuatnya semakin cantik dan memukau setiap pria yang memandangnya. Dari ujung rambut sampai ujung kakinya terawat luar biasa. Sangat anggun dan berbeda sekali dengan Fe yang selalu tampil tanpa make up. Ya walaupun Fe tampak cantik tanpa make up,, tapi Regina lebih menggoda kali ini.

Aku menghabiskan waktu dengannya seharian ini. Seru sekali menemaninya kesana kemari dengan segala canda tawanya. Walaupun aku harus keluar modal yang nyaris membobol dompetku. Tapi tidak apalah.

Aku lalu mengajak Regina mampir kerumahku sebentar sebelum mengantarnya pulang. Bukan untuk bertindak macam-macam. Tapi hanya sekedar untuk mengambil peralatan melukis milik Fe yang tertinggal dirumahku. Rencananya setelah mengantar Regina aku akan kerumah Fe untuk mengembalikannya.

Begitu mobilku masuk ke pekarangan rumah. Fe keluar dari pintu diantar oleh adikku yang sudah autis dari kecil dengan membawa peralatan lukis yang tadinya akan kuantar kerumahnya. Adrenalinku memuncak.

Bukan! Bukan karena aku takut ketawan Fe akan affair ku dengan Regina. Melainkan aku takut Regina melihat adikku yang autis dan membuat harga diriku jatuh dhadapannya. Dengan penuh emosi dan terburu-terburu, aku menghampiri mereka. 

"Apa yang kamu lakukan disini Fe!" Tanyaku padanya dengan nada tinggi.

Fe terkejut dengan reaksiku yang diluar kebiasaan. Dia hanya menunjukkan peralatan lukis itu ke arahku tanpa berbicara apapun.

"Kenapa Ray?" Regina sudah turun dari mobil.

Aku semakin tidak bisa berfikir. Bagiku ini semua sudah berantakan. Aku melihat wajah penuh rasa heran yang diperlihatkan Fe kepada Regina.

"Ini siapa Ray,,,? Dan perempuan ini siapa?" tanya Regina lagi.

Pertanyaan sederhana tapi sulit dijawab. Ini adalah pertanyaan yang selama ini aku hindari keluar dari mulut wanita manapun. Kalau aku jawab anak autis ini adikku, bagaimana jadinya nanti aku dihadapan teman-temanku yang lain? Regina pasti akan menjadikan hal ini sebagai gosip terhangat. Aku tau bagaimana mulut Regina. Dan Fe? Dia pasti akan segera memutuskan hubungannya denganku begitu tau Naya si anak autis ini adalah adikku. Situasi ini membuat isi kepalaku berantakan. 

Fe masih diam. Aku tau dari tatapan matanya kalau dia menuntut penjelasan padaku mengenai kejadian ini.

Dan Naya,, adikku ini. Aku mencintainya,tapi untuk kali ini, aku harus melukai hatinya. Tatapan matanya yang polos hanya fokus pada diriku. 

Regina masih menunggu jawabanku.

"Dii,, dia,, dia adalah tetanggaku,, anak ini sering main kesini,," Mulutku refleks mengeluarkan kata-kata kejam itu. Aku tidak berani menatap mata Naya.

"Dan dia siapa?" Tanya Regina lagi menunjuk kearah Fe.

Baru aku mau menjawab. Fe langsung menyambar ucapanku.

"Saya KAKAK dari anak ini! Maaf sudah mengganggu permisi,," Fe langsung membawa Naya pergi dari hadapanku dan Regina. Kata-katanya barusan benar-benar menamparku.

*      *      *

Sepulang dari mengantar Regina aku menjemput Naya ditempat Fe. Aku berharap Fe tidak bertanya apapun nantinya.

Sesampaiku disana, Fe membukakan pintu kamarnya dan memperlihatkan Naya yang tertidur pulas dengan spidol merah masih tergenggam dijemarinya. Disebelahnya terdapat fotoku yang sedang berdua dengan Fe, dalam keadaan wajahku disitu sudah tertutup oleh coretan-coretan abstrak tak terbentuk.

"Naya membantuku menghajarmu di foto itu,,aku tidak bisa menahannya,," Ujarnya menjawab pertanyaan dibenakku.

 "Maaf,, tadi ibunya mencarinya kerumah,aku harus memulangkannya ke ibunya,, aku tidak ingin dia menunggu terlalu lama,," Aku langsung menerobos ke kamar Fe hendak mengangkat Naya.

Tapi tangan Fe menghentikannya.

"Mau sampai kapan kamu menyembunyikan ini semua dariku Raya? Aku sudah tau dari dulu, kamu dan Naya kakak adik,,"

"Itu cuma gosip!"

"Gosip apa!!! Nama kamu Raya! Nama dia Naya! dan wajah kalian sangat mirip satu sama lain! Aku tidak sebodoh wanita-wanita yang selama ini kamu tipu Raya!"

Kata-kata Fe diluar dugaanku. Jadi selama ini dia sudah tau semuanya. "Bagus! Jadi kamu udah tau Fe,,sejak kapan?"

Fe tidak menjawab. Ya sudah, aku langsung mengangkat tubuh Naya yang tertidur pulas dan memasukkannya ke mobil. Fe mengejarku. 

"Raya,, tunggu,, aku ga bermaksud untuk,,"

"Ini semua gara-gara kamu Fe! Seharusnya kamu tepatin janji kamu hari ini ke aku! Harusnya kita pergi hari ini berdua. Aku jalan sama Regina juga gara-gara kamu. Dan Regina ketemu Naya juga gara-gara kamu!"

"Apa? gara-gara aku? Aku mana tau kalau kamu sama Regina? Lagi pula salah aku dimana?" Fe mulai menitikkan airmata itu di mata indahnya.

"Pantas selama ini kamu dingin terhadapku,, jadi kamu udah tau kalau Naya itu adik aku,,"

"Apa maksud kamu,,?" Tanya Fe takut-takut.

"Aku ingin satu hal,,kamu janji untuk menuhi janji kamu kali ini,, dan jangan pernah kamu ingkar seperti kamu ingkar pada janji kamu hari ini,,,"

"Apa,," Suara Fe bergetar.

"Jangan pernah masuk kedalam kehidupan aku dan Naya lagi,, mulai saat ini,,"

"Hah? Raya apa maksud kamu,, jangan lakukan ini Raya,, aku mohon,,"

Aku tidak mampu menjelaskan apa apa lagi kepada Fe. Aku sendiri tidak tau apa yang sudah kukatakan. 

"Apa ini karena Regina? Apa kamu malu sama Regina tentang keadaan yang sebenarnya? Apa cuma Regina yang menjadi kepentinganmu saat ini?" Tanya Fe tak henti-hentinya.

"Ya,," isi kepalaku sudah tidak karuan. Aku bahkan tidak tau apa yang sudah kuucapkan baru saja.

"Baik,, aku janji,,"

Mendengar kata-katanya membuatku menatap mata Fe yang berair. Aku telah menyakitinya. Apa ini yang aku inginkan? 

Sudahlah. Aku yakin setelah ini situasi akan kembali menjadi normal. Aku harus melupakan Fe dan Fe harus melupakan aku. Ini satu-satunya jalan yang terbaik yang bisa kupilih.

*      *      *

Dua minggu sudah aku memutuskan hubunganku dengan Fe. Dan menjalin hubungan baru dengan Regina. Sifat Regina sangat bertolak belakang dengan Fe. Fe lemah lembut terhadap siapapun. Bersikap sopan dan santun terhadap siapapun. Menyayangi anak kecil seperti Naya meskipun Naya seorang anak autis. Belum lagi gaya hidup sederhana Fe yang banyak mengajarkanku bagaimana menjadi bermanfaat untuk orang lain.

Apa yang sudah kulakukan.


Aku sudah menyia-nyiakan seorang yang bisa menerima keadaanku apa adanya. Yang bisa mengerti diriku dan kehidupanku. Harusnya pertama kali aku bisa melihat perbedaan Fe dari wanita lain yang pada akhirnya masih bisa kulihat. Bodohnya aku melakukan ini semua tanpa berfikir panjang. Hari-hariku yang berwarna teduh berubah menjadi warna terang yang menyilaukan mata. Membuat kepalaku pusing. Ditambah lagi dengan panasnya kupingku setiap kali ku mendengar Regina memaki dan mengusir Naya dari hadapannya setiap dia kerumah. Ku merindukan Fe disisi hidup ini.

Aku lalu meninggalkan Regina. Dan bermaksud memperbaiki keadaan dengan Fe. Tapi,, Fe ternyata tidak satu pemikiran denganku.

"Aku sudah pernah berjanji padamu bukan?" Fe berkata bukan tanpa emosi, terlihat dan terdengar dari raut wajahnya dan suaranya yang penuh akan rasa kecewa. Aku melihat air mata itu menggenang dibola matanya nan indah. Mati-matian dia berusaha agar tetesannya tidak jatuh hingga membuatnya luluh dan menghapus ketetapan hatinya yang ia panggul dengan susah payah.

"Boleh aku minta kamu tarik kembali janjimu itu?" pintaku.

"Tidak bisa,," Fe meneteskan air matanya. Terlihat dia kesulitan dan gagal menahan air mata itu.

"Pliss,, aku minta maaf,," aku memohon pada Fe. Yang baru pertama kalinya kulakukan pada seorang wanita manapun. Biasanya mereka yang memohon padaku. Tapi kini sebaliknya.

"Aku berjanji padamu, untuk tidak ingkar kan? Nah,, inilah janjiku,," Airmata Fe mengalir deras saat ia mengatakan ini. 

"Aku yang memintamu untuk berjanji Fe,, Aku tarik kembali ucapanku,, kamu tidak perlu mengingkari janji apapun,, janji itu sudah kuhapus selamanya!"

Lalu Fe menarik nafas panjang untuk lanjut mengatakan sesuatu yang membantunya menahan kembali tetesan air mata itu.

"Kamu memaksaku mengucapkan sebuah janji yang sama sekali tidak aku inginkan Raya,, Kamu minta aku berjanji untuk menjauhi kehidupan kamu dan Naya. Itu seperti kamu memaksaku mengerami cangkang telur yang tidak berisi. Begitu kamu hancurkan janji itu,, telur janji itu kosong tidak berisi,, tidak ada hasil apapun didalamnya. Dan cangkang telur yang pecah itu adalah hatiku Raya,,"

Awalnya aku tidak mengerti maksud dari perumpamaan yang Fe katakan. Tapi begitu aku menyadari maknanya. Air mataku jatuh. Air mata yang pertama kali jatuh hanya untuk seorang wanita yang kucintai. Wanita itu Fe.



-by: winda-















Apr 12, 2013 0 komentar

Ketidak tahuanku akan isi hatimu,,



Aku berlaku seperti biasanya aku,,
Apa adanya dan berusaha melakukan hal yang baik yang dapat membuat warna disekitarku semakin cerah,,
Aku berlaku seperti adanya aku,,
Tidak banyak cincong dan ingin semuanya lurus-lurus saja,,
Aku berlaku seperti inilah aku,,
Tidak terlalu memperdulikan apa yang orang lain lakukan, selama itu tidak mengusikku dan berharap orang lain memperlakukanku sama,,

Singkat pengutaraanku,,
Aku berlaku seperti aku dihari-hari biasanya,,
Tidak bisa membaca isi hati kamu,,
Tidak bisa menelisik apa ingin kamu,,
Tidak bisa menjadi apa yang kamu inginkan,, 
Tidak bisa bermanis-manis mulut untuk menjilat kamu,,
Itu sangat bukan aku,,

Jadi maaf jika,,

Ketidak tahuanku membuat kamu menggunjingkan aku,,
ketidak tahuanku membuat kamu ingin menjatuhkan aku,,
ketidak tahuanku membuat kamu menyimpan dendam padaku,,
Ketidak tahuanku membuat kamu merasa dirugikan,,
Ketidak tahuanku membuat kamu senang aku tampak buruk,,

Dan,,
Ketidak tahuanku membuat kamu bermuka dua dihadapanku,,

Bersikaplah terbuka,,
Utarakan apa yang sudah mengganggumu pada diriku,,
Tidak perlu mengasah lidahmu yang sudah tajam untuk membicarakanku dibalik punggung yang lelah dan penuh beban ini,,
Bicara dengan baik dan aku berlaku sama denganmu,,

Hentikan menyayat semangatku yang ingin menjadi seperti manusia biasa lainnya,,
Hentikan membakar emosiku yang sudah redam karena air kesabaran,,
Hentikan meremas hatiku yang semakin gemas melihat kamu mengumpulkan parang diam-diam seolah-olah aku tidak melihatnya,,

Hentikan ini semua,,
Bisakah kamu tidak berprasangka tidak baik?
Bersikap sewajarnya sebagai manusia yang saling kenal,,?
Bersikap biasa tanpa ada iri dengki didalamnya?

Ada hal yang ingin aku tanyakan padamu,,
Tidakkah damai itu sangat indah bagimu?


kepada kamu yang tidak kuketahui isi hatimu
by-winda-










Apr 8, 2013 0 komentar

-cuplikan- Fight!



                
Laju mobil yang dikendarai oleh abangku yang hobi kebut-kebutan ini mulai melambat. Aku melongok untuk melihat lampu lalulintas yang tepat berada di atas kepalaku dari kaca depan. Mobil berhenti tepat saat lampu berubah merah. Disini aku selalu salut kalau bang Fatan yang mengemudi, dia selalu tau dan tepat serta akurat setiap lampu lalu lintas berubah menjadi merah. Terkadang aku berfikir,dia mempunyai semacam indera keenam. Tapi kalau melihat tingkah lakunya yang terkadang brutal dan mengesalkan. Aku malah meragukan kalau dia punya panca indera.
           
 Aku mulai menikmati pemandangan yang sudah sering aku nikmati. Pinggiran jalan. Berbagai macam manusia di luar sana sibuk dengan urusannya masing-masing. Ingin sekali aku bisa membaca pikiran mereka, seperti Edward Cullen, karakter yang ada di dalam novel ‘Twilight’ karangan Stephani Meyer. Si vampire ganteng yang memiliki bakat, mampu membaca pikiran manusia. Kalau saja aku bisa. Aku mungkin tidak akan mengalami yang namanya patah hati. Karena sebelumnya aku pasti sudah mengetahui niat buruk yang ada dipikiran pasanganku. Dan punggungku tidak perlu cidera karena mematahkan tempat tidur untuk pelampiasan kekesalanku.

***

Sesuai dengan permintaan Giska, sahabatku yang sedikit eksentrik itu. Aku tidak mengajukan surat pengunduran diri. Giska melipat tangan dan memandangku dengan tatapan, ‘Gituuu donkk,, itu baru sahabat gue,,!’ begitu tau aku memutuskan hal ini. Tetapi, matanya langsung terbelalak begitu aku mengajukan surat permohonan pindah cabang, sebagai ganti surat permohonan pengunduran diriku. Dan permohonanku, langsung dikabulkan oleh HRD, karena kebetulan kantor cabang di daerah selatan sedang membutuhkan tenaga accounting.
                
 “Gue udah nepatin janji gue Gis,, sekarang,, waktunya elo nepatin janji lo,,” kataku sambil tangan ini sibuk membereskan meja kerja.
                        
“Gue ga ngeliat lo nepatin janji lo tar?”
  
“Gue kan janji, untuk ga r-e-s-i-g-n dari kantor,, nah lo liat kan, gue ga jadi resign,,”
                        
“Tapi loooo pindah cabang!!!” Giska menggebrak meja.
                
“Pindah kantor doank, status gue masih resmi jadi karyawan perusahaan ini kok,, weeeek!” aku meledek Giska. Sebenarnya aku agak sedikit berat juga sih meninggalkan sahabatku ini, karena di kantor selalu dia yang menjadi teman terbaikku. Tapi menurutku, jarak sejauh apapun tidak akan merusak persahabatan apapun. Ya kan?
                     
 Giska terduduk lemas di meja kerjaku sambil matanya terus mengikuti gerak gerikku yang sedang berbenah. Sedangkan aku masih sibuk membereskan barang-barangku yang akan kubawa ke kantor yang baru.
                     
“Gis,, plisss,,,” aku menghentikan aktifitasku dan memandangnya sambil memohon, aku menjadi sangat tidak enak hati ia menatapku seperti itu sementara aku seliweran kesana kemari mengepak barang-barangku. Sesaat aku mematung menunggu reaksinya sambil tanganku masih membopong berkas-berkas yang kuperlukan untuk dikantor baru nanti.
              
Giska menatapku tajam, dan tanpa berkata apapun langsung keluar ruangan dan membanting pintu. Aku tau, itu artinya apa. Giska m-a-r-a-h.

                       
 Hari ini adalah hari terakhirku di kantor yang lama. Besok aku sudah harus menempati ruangan baruku di kantor cabang yang baru. Sementara tanggung jawabku di kantor ini, sudah sepenuhnya pindah tangan menjadi tanggung jawab Helena. Anak baru yang sudah ku training selama dua jam. Training yang singkat,padat,jelas dan terburu-buru. Helena cepat tanggap, sigap dan cerdas. Jadi aku tidak ragu lagi mengalihkan pekerjaanku yang dulu kepadanya. Namun entah kenapa, Giska terlihat tidak menyukai Helena. Ketika kutanyakan sebabnya apa, Giska bilang dia lebih menyukai aku yang menempati posisi itu dibanding Helena. Kali ini agak susah memberi sedikit pengertian ke giska. Tumben.
               
 Ketika aku memindahkan barang-barangku ke bagasi mobil. Tiba-tiba aku merasa ada yang menyentuh bahuku. Kulihat dari pantulan kaca belakang ternyata panca.
                    
“Tara,,” panggilnya
                     
Aku menoleh.
       
 “Kamu mau pindah?” tanyanya tanpa basa-basi. Sial, ini pasti ulah Giska yang memberitahukannya tentang kepindahanku.
                    
“Iya,,” jawabku sambil membuka bagasi mobil.
              
 “Kalau kamu pindah itu semua karena aku, aku mohon jangan,, biar aku yang pindah!” Panca terdengar sedikit emosional mendengar jawabanku barusan.
                  
 Aku meletakkan barang-barangku ke dalam bagasi,tanpa menghiraukannya.
                  
Tara, kamu dengar? Jangan lakukan ini! Biar aku yang pindah, ini semua salah aku,, biar nanti aku menghadap ibu Ramona, untuk ngurusin kepindahan aku dan ngebatalin kepindahan kamu.” Ucapnya dengan nada sedikit panik.
                 
Aku membanting bagasi mobil. “Elo pikir lo siapa? Ngelarang-larang gue buat pindah,, gue pindah bukan karena lo,,”
                 
Panca terlihat sedikit terkejut melihat reaksiku yang sedikit kasar.
                
 “Minggir,,” kataku kemudian menggeser posisinya yang sedikit menghalangi.
             
“Oke! Kalau ini bukan karena aku,, jangan kamu kira aku ga tau tentang perjanjian kamu sama Giska!” tegasnya. 
                
Arrrghh,, Giskaaa,, kenapa lo harus bocorin ke si pelaku sih! Umpatku dalam hati. Suasana hening sejenak. Pikiranku sibuk mencari kata-kata yang tepat untuk kulontarkan padanya.
            
 “Jadi soal perjanjian itu benar? Aku minta maaf kalau aku salah Tara,, aku memang salah, tapi aku mohon,, kamu jangan sampai pindah,,” mohonnya.
              
Aku menarik nafas dalam kemudian menatapnya lekat-lekat, “Panca,, please,, masalah yang kemarin itu jangan diungkit-ungkit lagi, aku mohon,, aku udah ngelupain itu semua,, maksudku, sedang dalam proses melupakan,, jujur aku ngerasain yang namanya sakit hati ke kamu,, tapi sekarang udah engga,, yang aku butuhin sekarang itu suasana baru,, aku mohon Panca,, Please, jangan membuat hal sepele kaya gini jadi hal yang rumit,,,” kataku melembut dan memohon.
             
“Apa rasa itu masih ada Ra?” tanyanya tiba-tiba. Aku merasakan ia menggenggam kedua tanganku,dan tatapan penyesalannya itu nyaris meluluhkan hati ini.
             
 “Panca,, kita itu udah jadi masa lalu,,” jelasku tidak berani menatap matanya.
         
 “Perasaan aku ke kamu jauh lebih besar sekarang Ra,, aku tau aku udah nyakitin kamu dengan selingkuh sama Mia,, tapi itu,,”
           
 “Udah Nca,, game-over,,” kali ini aku menguatkan diri untuk melihat kedalam matanya yang sangat bersungguh-sungguh.
              
“Tapi a,,”
        
 “Panca,,, aku mau kejadian ini jadi pelajaran berharga buat kamu. Perasaan itu bukan mainan,,” Aku memotong ucapannya kemudian melepaskan genggamannya. Aku menghela nafas. ”Jangan pernah sakitin Mia, seperti kamu nyakitin aku,,” lanjutku dengan senyum yang sangat tulus keluar dari hati ini. “Hargai perasaan wanita Nca,, dari situ kamu akan punya nilai lebih untuk sebuah kata maaf,,” 

* * *
 

Jalanan kota tidak terlalu padat hari ini. Aku melajukan mobil menuju pantai, seperti biasa, pantai adalah tempat ternyaman yang bisa kujadikan sebagai tempat merenung. Aku tidak menyangka sama sekali dengan sikapku barusan ke Panca di area parkir. Aku kira aku akan mencakarnya dan memakannya hidup-hidup. Huff,, ternyata berjiwa besar itu sangat menenangkan. Aku kira aku tidak akan sanggup menghadapi Panca lagi setelah kejadian yang dulu itu, ternyata mudah saja. Cukup dengan mengikhlaskan semuanya, dan semua akan baik-baik saja.

*  * *







Total Pageviews

Blogger templates

 
;