Apr 8, 2013

-cuplikan- Fight!



                
Laju mobil yang dikendarai oleh abangku yang hobi kebut-kebutan ini mulai melambat. Aku melongok untuk melihat lampu lalulintas yang tepat berada di atas kepalaku dari kaca depan. Mobil berhenti tepat saat lampu berubah merah. Disini aku selalu salut kalau bang Fatan yang mengemudi, dia selalu tau dan tepat serta akurat setiap lampu lalu lintas berubah menjadi merah. Terkadang aku berfikir,dia mempunyai semacam indera keenam. Tapi kalau melihat tingkah lakunya yang terkadang brutal dan mengesalkan. Aku malah meragukan kalau dia punya panca indera.
           
 Aku mulai menikmati pemandangan yang sudah sering aku nikmati. Pinggiran jalan. Berbagai macam manusia di luar sana sibuk dengan urusannya masing-masing. Ingin sekali aku bisa membaca pikiran mereka, seperti Edward Cullen, karakter yang ada di dalam novel ‘Twilight’ karangan Stephani Meyer. Si vampire ganteng yang memiliki bakat, mampu membaca pikiran manusia. Kalau saja aku bisa. Aku mungkin tidak akan mengalami yang namanya patah hati. Karena sebelumnya aku pasti sudah mengetahui niat buruk yang ada dipikiran pasanganku. Dan punggungku tidak perlu cidera karena mematahkan tempat tidur untuk pelampiasan kekesalanku.

***

Sesuai dengan permintaan Giska, sahabatku yang sedikit eksentrik itu. Aku tidak mengajukan surat pengunduran diri. Giska melipat tangan dan memandangku dengan tatapan, ‘Gituuu donkk,, itu baru sahabat gue,,!’ begitu tau aku memutuskan hal ini. Tetapi, matanya langsung terbelalak begitu aku mengajukan surat permohonan pindah cabang, sebagai ganti surat permohonan pengunduran diriku. Dan permohonanku, langsung dikabulkan oleh HRD, karena kebetulan kantor cabang di daerah selatan sedang membutuhkan tenaga accounting.
                
 “Gue udah nepatin janji gue Gis,, sekarang,, waktunya elo nepatin janji lo,,” kataku sambil tangan ini sibuk membereskan meja kerja.
                        
“Gue ga ngeliat lo nepatin janji lo tar?”
  
“Gue kan janji, untuk ga r-e-s-i-g-n dari kantor,, nah lo liat kan, gue ga jadi resign,,”
                        
“Tapi loooo pindah cabang!!!” Giska menggebrak meja.
                
“Pindah kantor doank, status gue masih resmi jadi karyawan perusahaan ini kok,, weeeek!” aku meledek Giska. Sebenarnya aku agak sedikit berat juga sih meninggalkan sahabatku ini, karena di kantor selalu dia yang menjadi teman terbaikku. Tapi menurutku, jarak sejauh apapun tidak akan merusak persahabatan apapun. Ya kan?
                     
 Giska terduduk lemas di meja kerjaku sambil matanya terus mengikuti gerak gerikku yang sedang berbenah. Sedangkan aku masih sibuk membereskan barang-barangku yang akan kubawa ke kantor yang baru.
                     
“Gis,, plisss,,,” aku menghentikan aktifitasku dan memandangnya sambil memohon, aku menjadi sangat tidak enak hati ia menatapku seperti itu sementara aku seliweran kesana kemari mengepak barang-barangku. Sesaat aku mematung menunggu reaksinya sambil tanganku masih membopong berkas-berkas yang kuperlukan untuk dikantor baru nanti.
              
Giska menatapku tajam, dan tanpa berkata apapun langsung keluar ruangan dan membanting pintu. Aku tau, itu artinya apa. Giska m-a-r-a-h.

                       
 Hari ini adalah hari terakhirku di kantor yang lama. Besok aku sudah harus menempati ruangan baruku di kantor cabang yang baru. Sementara tanggung jawabku di kantor ini, sudah sepenuhnya pindah tangan menjadi tanggung jawab Helena. Anak baru yang sudah ku training selama dua jam. Training yang singkat,padat,jelas dan terburu-buru. Helena cepat tanggap, sigap dan cerdas. Jadi aku tidak ragu lagi mengalihkan pekerjaanku yang dulu kepadanya. Namun entah kenapa, Giska terlihat tidak menyukai Helena. Ketika kutanyakan sebabnya apa, Giska bilang dia lebih menyukai aku yang menempati posisi itu dibanding Helena. Kali ini agak susah memberi sedikit pengertian ke giska. Tumben.
               
 Ketika aku memindahkan barang-barangku ke bagasi mobil. Tiba-tiba aku merasa ada yang menyentuh bahuku. Kulihat dari pantulan kaca belakang ternyata panca.
                    
“Tara,,” panggilnya
                     
Aku menoleh.
       
 “Kamu mau pindah?” tanyanya tanpa basa-basi. Sial, ini pasti ulah Giska yang memberitahukannya tentang kepindahanku.
                    
“Iya,,” jawabku sambil membuka bagasi mobil.
              
 “Kalau kamu pindah itu semua karena aku, aku mohon jangan,, biar aku yang pindah!” Panca terdengar sedikit emosional mendengar jawabanku barusan.
                  
 Aku meletakkan barang-barangku ke dalam bagasi,tanpa menghiraukannya.
                  
Tara, kamu dengar? Jangan lakukan ini! Biar aku yang pindah, ini semua salah aku,, biar nanti aku menghadap ibu Ramona, untuk ngurusin kepindahan aku dan ngebatalin kepindahan kamu.” Ucapnya dengan nada sedikit panik.
                 
Aku membanting bagasi mobil. “Elo pikir lo siapa? Ngelarang-larang gue buat pindah,, gue pindah bukan karena lo,,”
                 
Panca terlihat sedikit terkejut melihat reaksiku yang sedikit kasar.
                
 “Minggir,,” kataku kemudian menggeser posisinya yang sedikit menghalangi.
             
“Oke! Kalau ini bukan karena aku,, jangan kamu kira aku ga tau tentang perjanjian kamu sama Giska!” tegasnya. 
                
Arrrghh,, Giskaaa,, kenapa lo harus bocorin ke si pelaku sih! Umpatku dalam hati. Suasana hening sejenak. Pikiranku sibuk mencari kata-kata yang tepat untuk kulontarkan padanya.
            
 “Jadi soal perjanjian itu benar? Aku minta maaf kalau aku salah Tara,, aku memang salah, tapi aku mohon,, kamu jangan sampai pindah,,” mohonnya.
              
Aku menarik nafas dalam kemudian menatapnya lekat-lekat, “Panca,, please,, masalah yang kemarin itu jangan diungkit-ungkit lagi, aku mohon,, aku udah ngelupain itu semua,, maksudku, sedang dalam proses melupakan,, jujur aku ngerasain yang namanya sakit hati ke kamu,, tapi sekarang udah engga,, yang aku butuhin sekarang itu suasana baru,, aku mohon Panca,, Please, jangan membuat hal sepele kaya gini jadi hal yang rumit,,,” kataku melembut dan memohon.
             
“Apa rasa itu masih ada Ra?” tanyanya tiba-tiba. Aku merasakan ia menggenggam kedua tanganku,dan tatapan penyesalannya itu nyaris meluluhkan hati ini.
             
 “Panca,, kita itu udah jadi masa lalu,,” jelasku tidak berani menatap matanya.
         
 “Perasaan aku ke kamu jauh lebih besar sekarang Ra,, aku tau aku udah nyakitin kamu dengan selingkuh sama Mia,, tapi itu,,”
           
 “Udah Nca,, game-over,,” kali ini aku menguatkan diri untuk melihat kedalam matanya yang sangat bersungguh-sungguh.
              
“Tapi a,,”
        
 “Panca,,, aku mau kejadian ini jadi pelajaran berharga buat kamu. Perasaan itu bukan mainan,,” Aku memotong ucapannya kemudian melepaskan genggamannya. Aku menghela nafas. ”Jangan pernah sakitin Mia, seperti kamu nyakitin aku,,” lanjutku dengan senyum yang sangat tulus keluar dari hati ini. “Hargai perasaan wanita Nca,, dari situ kamu akan punya nilai lebih untuk sebuah kata maaf,,” 

* * *
 

Jalanan kota tidak terlalu padat hari ini. Aku melajukan mobil menuju pantai, seperti biasa, pantai adalah tempat ternyaman yang bisa kujadikan sebagai tempat merenung. Aku tidak menyangka sama sekali dengan sikapku barusan ke Panca di area parkir. Aku kira aku akan mencakarnya dan memakannya hidup-hidup. Huff,, ternyata berjiwa besar itu sangat menenangkan. Aku kira aku tidak akan sanggup menghadapi Panca lagi setelah kejadian yang dulu itu, ternyata mudah saja. Cukup dengan mengikhlaskan semuanya, dan semua akan baik-baik saja.

*  * *







0 komentar:

Post a Comment

Total Pageviews

Blogger templates

 
;