Ganggang laut yang meliuk-meliuk
memanjakan mataku dengan segala warna-warninya. Belum lagi ikan-ikan kecil yang
merona wajahku dengan tatapan persahabatan mereka. Syukurlah mereka tidak takut
padaku. Mungkin karena mereka yakin karang-karang dan lumut-lumut indah itu
akan selalu setia sebagai tempat perlindungan jika tiba-tiba saja aku melakukan
perbuatan buruk. Aku melihat biasan-biasan cahaya yang indah merasuk ke
kedalaman laut ini. Cahaya yang satu ini tidak sepanas didaratan, justru ia
menghidangkan pemandangan yang menakjubkan jika bergabung dengan
ganggang-ganggang dan ikan-ikan beraneka rupa bentuknya. Menyenangkan sekali
mata ini memandangnya.
Aku terus merangsek ke kedalaman
lautan, mengikuti pola air,memasuki lingkaran-lingkaran indah yang terbentuk
tanpa sengaja oleh karang-karang mati namun ternyata hidup. Bercengkrama
sejenak dengan sesepuh lautan, sang penyu tua yang tanpa lelah bertualang.
Bermain pasir didasar laut dan mencoba berbagai gaya renang yang kuinginkan dan
kuciptakan sesuka hati. Menerobos gerombolan ikan laut yang menakjubkan. Aku
bahkan tidak bisa membedakan, saat ini aku sedang berenang? Atau terbang?
Karena dua hal tersebut bisa kulakukan secara bersamaan saat ini. Dadaku tidak
lagi sesak, hanya saja bayangan-bayangan yang sangat mengganggu itu sesekali
terbersit di kepalaku. Aku masih mencoba menerka-nerka apa yang ada dibayangan
itu, yang aku ingat hanya beberapa yang mirip denganku. Kulit bercahaya bila
terkena sinar mentari, dan dapat hidup dalam dua dunia. Dunia bawah air dan
atas air, tetapi pakaian yang mereka kenakan jauh lebih menakjubkan dari pada
baju sederhana yang kukenakan saat ini. Mereka memiliki tatapan mata yang tajam
namun teduh, ada salah satu dari mereka
tampak menyeramkan, tapi aku tidak terlalu ingat bagaimana tepatnya.
Aku masih menyusuri lautan dalam
ini, mencoba mencari jalan keluar yang mungkin saja menjadi jawaban pula akan
keanehan diriku. Melalui bisikan-bisikan halus sewaktu aku memutuskan terjun
dari atas tebing, aku merasa suara halus tersebut justru membimbingku.
Menuntunku entah kemana, namun hatiku meyakini sesuatu, aku harus mengikuti
bisikan halus itu. Itu dia,, mataku menangkap lingkaran karang yang dipenuhi
oleh ganggang-ganggang tanaman laut yang menyorong kesebuah lingkaran kelam.
Sangat sunyi disana, aku ragu-ragu mendekatinya. Aku maju untuk melihat isinya
namun sia-sia, aku tidak melihat apapun disana. Aku balik mundur kebelakang,
entah karena kelelahan, keberanianku menciut. Mungkin sebaiknya aku harus
istirahat memulihkan tenagaku setelah perjalanan jauh ini. Aku sampai lupa
waktu, sepertinya tadi masih siang hari dan matahari masih bersinar terang
datas sana,dan baru kusadari aku benar- benar kelelahan. Sebaiknya baru esok
hari aku mencari cara agar dapat memasuki lubang itu. Aku melesat berenang ke
permukaan, sambil melihat sekeliling menghafal tempat lubang kelam itu berada.
Setelah yakin aku mengingatnya, tanpa ragu aku mencuat kepermukaan.
Nafasku terengah-engah setelah
menghirup udara permukaan. Membiasakan kembali bernafas dengan udara atas air.
Aku mencari-cari daratan yang bisa kusinggahi untukku beristirahat malam ini.
Sebenarnya bisa saja aku tidur di dalam air, namun arus dalam air tidak bisa
diperkirakan. Diatas permukan mungkin terlihat tenang, namun dibawahnya, arus
air meliuk-liuk seperti angin badai yang tidak bisa kita perkirakan datangnya.
Dan dengan kondisiku yang masih belum mahir untuk keadaan seperti itu, aku
memutuskan untuk mencari daratan. Diujung pandanganku sebelah kiri, aku melihat
titik hitam kecil. Aku memicingkan mata memastikan apakah itu sebuah pulau atau
perahu. Titik hitam itu diam ditempat tidak bertambah kecil ataupun bertambah
besar. Aku yakin itu pulau. Letaknya kira-kira hanya sekitar dua kilometer dari
tempatku mengapung saat ini. Aku berenang mendekati pulau itu.
Sambil terus memperhatikan, aku
mendekati pulau itu. Ya, benar itu sebuah pulau kecil dan landai. Aku
mengitarinya memeriksa apakah berpenghuni atau tidak. Aku berenang kearah barat
pulau tersebut, mengitarinya dan mengawasinya dari jauh. Dengan teliti
kuperhatikan bentuk-bentuk yang ada diatas pulau tersebut. Tidak ada bentuk
manusia disana. Tidak ada perahu yang ditambatkan, itu artinya pulau ini
kosong. Aku masih mengitarinya sekedar untuk lebih memastikan tidak ada makhluk
hidup diatasnya, tetap kosong. Hanya batu besar hitam dilandainya pasir yang
membentuk seperti sebuah kubus yang ringsek disana-sini. Aku memilih mendekati
batu itu. Masih dalam keadaan waspada. Jika ternyata ada kehidupan dipulau ini,
batu besar ini bisa kujadikan sebagai tempat persembunyian. Pepohonan dipulau
itu bergoyang tertiup angin laut mengawasi gerak-gerikku.
Dengan penuh kewaspadaan tingkat
tinggi, kakiku mulai merasakan bisa menjejakkan langkah dipasir. Itu artinya aku
sudah dipulau. Namun air laut masih menutupi tubuhku sebatas leher. Perlahan
aku melangkah, mengendap-ngendap. Sungguh, aku sedang didera kelelahan yang
luar biasa. Dengan kelelahan ini aku benar-benar tidak siap jika harus bertemu
siapapun itu. Aku menyentuh batu kubus itu memastikan itu benar batu dan bukan
makhluk hidup. Memperhatikan detail-detail bentuknya. Batu ini seperti
dilemparkan kesini dari langit dan langsung menancap kokoh ke pantai berpasir
hangat ini. Aku lalu mengintip dari baliknya, melihat jauh kedalam pulau. Tidak
ada cahaya penerangan atau apapun. Sekarang aku bisa bernafas lega. Aku sudah
yakin pulau ini tidak berpenghuni.
Begitu aku sudah yakin aku akan
aman. Aku mulai mencari ranting dan dedaunan untuk alasku beristirahat. Aku memasuki
hutannya, mematahkan beberapa ranting pohon, dan memanjat pohon kelapa
mengambil buahnya. Menumpuk ranting yang sudah terkumpul dan menebar daun untuk
alas. Aku duduk bersila dialasku mengahadap ranting-ranting yang siap kubakar
sebagai penghangat. Untuk kali ini, aku beruntung menjadi manusia aneh. Seperti
seorang penari bali yang jemarinya lentik, aku membiaskan api dari jemariku.
Ranting langsung terbakar sempurna.
Aku meluruskan kakiku dan kedua
tanganku menopang tubuh, kepalaku mendongak keatas. Seperti biasa, aku
memperhatikan langit.
“Paman,, bagaimana keadaanmu
dirumah? Aku tau kau pasti mengkhawatirkan aku,,” gumamku memecah kesunyian
yang bersahabat dengan suara debur ombak.
Seketika aku membayangkan rahang
kuat paman yang menegang jika ia sedang dalam keadaan khawatir akan kondisiku,
lalu berganti dengan senyuman hangatnya dan tawa gelegarnya yang menyenangkan.
Air mataku menetes. Tapi aku berusaha agar tidak sesenggukan, aku harus kuat
dan berani. Bukankah sudah bertahun-tahun aku merencanakan ini semua. Cahaya
bintang-bintang itu mulai pudar, airmataku ternyata jatuh tak henti-henti. Aku
menarik ujung lengan bajuku untuk menghapus airmata rindu ini. Aku juga ingat
Dandelion, aku sangat menyesal tidak memakai gelang kaki yang dia berikan padaku.
Jujur saja, aku membutuhkan itu.
Dengan rasa lelah yang sudah tidak
tebendung, aku merebahkan diri. Lagi dan lagi aku melihat bintang. Lalu aku
ingat sesuatu, kuraba dadaku mencari liontin yang terbuat dari lempengan
mangkuk yang ditemukan paman bersamaan dengan menemukanku. Ini satu-satunya
yang bisa menjadi petunjukku. Petunjuk sebagai arah mata angin dan penunjuk
jalan kebenaran darimana sebenarnya aku berasal. Aku tidak tau apa yang
kulakukan ini terlalu berlebihan atau mengada-ada. Memang seharusnya aku tetap
disisi paman dan menjadi anak gadisnya yang manis selamanya. Bukankah paman
Manson menyayangiku lebih dari apapun. Tapi, aku tidak menjadi diriku sendiri.
Aku bahagia melihat paman Manson bahagia. Dan aku sedih melihat paman Manson
bersedih. Tapi tanda tanya besar yang ada pada dalam diriku tidak bisa
kuselimuti dengan itu semua. Aku haus akan pengetahuan, ‘apa’ aku sebenarnya.
Begitu
banyak pemikiran-pemikiran, ribuan rasa dari berbagai perasaan dan
pertanyaan-pertanyaan yang mengusik batinku sebelum ku benar-benar terlelap.
Mataku menjadi berat dan ku memutuskan mengeluarkan aura hangat dari tubuhku
agar angin kencang tidak membuatku menggigil. Setelahnya, meniup api unggun dan
terlelap.
***
Pagi hari disisi lain pulau, Samudra
masih sibuk menyiapkan segala sesuatunya di pondokan. Sebenarnya dia ingin
sekali menikmati betapa indah dan nyamannya daerah sekitar pondokan tersebut.
Namun entah apa yang membuatnya urung dan mengerutkan dahi, dia tetap melakukan
aktifitasnya.
Setelah yakin apa yang sedang
dilakukannya telah selesai, Samudra masuk kedalam kamar dan mengambil peralatan
menyelamnya. Tatapan matanya yang tajam, rahangnya yang kuat, bahu tegap dan
tubuh yang penuh sekali gambar. Menandakan jika dia adalah laki-laki yang
sangat keras. Namun jika ditelisik dari matanya, sungguh tidak bisa ditebak.
Begitu memeriksa segala atribut
menyelamnya sudah lengkap, Samudra melangkah keluar hutan menuju pantai.
Matahari pagi yang lumayan menyengat tidak mengurungkan niatnya untuk menyelam
hari itu. Dengan pasti Samudra mulai mengenakan segala atribut menyelamnya
sesampai di tepi pantai. Samudra sama sekali tidak menyadari adanya sosok Sea
yang sedang tertidur lelap kelelahan dibalik batu besar yang tepat berada
dihadapannya. Sampai ketika ia melihat adanya kejanggalan yang menarik
perhatian. Tapak-tapak jejak kaki diatas pasir pantai yang tertinggal
disana-sini membuatnya berfikir keras. Siapa yang ada dipulau ini selain dia.
Samudra tanpa ragu mengikuti jejak-jejak kaki tersebut yang malah membawanya ke
balik batu tempatnya tadi berdiri. Dengan hati-hati Samudra melihat ke balik
sisi batu tersebut, dan ternyata, apa yang dia lihat diluar perkiraannya.
Dengan alis mengkerut dan mata
menatap tajam. Samudra mencoba menebak siapa wanita yang terbaring
dihadapannya. Samudra memperhatikan penampilan wanita tersebut. Berpakaian
lusuh namun memiliki kulit putih yang bersih dan wajah yang tidak dipungkiri
kalau wanita ini terlihat cantik. Malah sangat cantik. Kulitnya seperti
bersinar jika terkena cahaya, mungkin karena saking putih dan bersihnya membuat
dia tampak bersinar, pikir Samudra. Tapi bukan itu yang menjadi masalah, siapa
dan apa yang membuat wanita ini ada disini? Samudra masih menebak-nebak di
benaknya, mungkinkah dia hanyut dan terbawa ombak sampai kesini? Atau dia
memang penduduk asli pulau ini? Tapi tidak mungkin, Samudra sudah memastikan
kalau pulau ini benar-benar tidak berpenghuni. Dan satu lagi pertanyaan besar,
apakan wanita ini masih hidup? Dengan setengah berlutut dan betumpu pada kaki
kanannya, Samudra mencoba memeriksa nadi wanita ini. Tapi begitu jemarinya
hampir menyentuh pergelangan nadi wanita tersebut, Sea perlahan terbangun,
matanya membuka. Samudra sedikit terperangah dan beku. Dia bisa melihat kedalam
mata Sea yang sekarang terbuka dan terbelalak terkejut melihat kehadirannya.
Samudra seperti melihat kedalaman lautan yang indah dimata biru Sea. Dan Sea yang
terkejut akan kehadiran Samudra langsung mundur begitu menyadari ada orang lain
dihadapannya.
-to be continued-
sumber gambar: uclub-brother.blogspot