Feb 4, 2022

SEA --- 1




Diam. Hanya itu yang dapat aku lakukan. Mereka akan melihatku menjadi seorang yang aneh jika aku mendadak menjadi banyak bicara. Buatku, diam adalah istanaku. Benteng terbesarku yang mampu melindungiku dengan kokoh. Banyak yang mempertanyakan sikapku yang diam seperti ini. Diam, dingin, jarang tersenyum, dan seperti enggan menjalani hidup. Aku tidak peduli yang lain berpendapat apa. Sikap ini, adalah satu-satunya pelindungku. Pelindung yang paling aman sedunia. Pelindung dari efek samping sebuah keluarbiasaan yang ada dalam diriku. Keluarbiasaan yang ingin kubuang jauh-jauh dan kulepaskan dengan suka rela. Tapi itu tidak mungkin terjadi,,, kecuali ada seseorang yang menusukkan pisau langsung tepat kejantungku.
                Namaku Sea. Sea yang memiliki arti laut. Pamanku yang memberikan nama itu ketika aku masih bayi. Menurutnya, Sea adalah nama yang tepat untukku. Dengan kecantikan laut yang luar biasa saat sore hari. Warna biru laut yang tenang namun penuh ombak. Dan kedalamannya yang kadang tak terukur. Ia memberikan nama itu untukku dengan segala kecintaannya pada laut bebas dan segala tumpah ruah kasih sayangnya padaku saat itu.
                Banyak yang mengira, aku dan Paman adalah ayah dan putri kesayangannya. Sebenarnya tidak. Aku yatim piatu ketika Paman menemukanku di lautan lepas saat ia berlayar. Entah dari mana asalnya. Ia melihat sebuah perahu kecil terombang-ambing tidak jauh dari kapal yang ia tumpangi. Begitu melihat isi perahu kecil tersebut, ia menemukanku. Sendirian.
               
                “FAHMIII!! AKU MELIHAT SESUATU DISANA!!” Manson menunjuk-nunjuk sesuatu yang ia lihat tak lazim di lautan lepas. Deru angin yang membantu ombak mengombang ambingkan perahu sederhananya memaksanya untuk berteriak agar suaranya tak tertiup angin kencang untuk sampai ke telinga Fahmi, sang sahabat yang selalu berlayar menemaninya kemanapun dalam kegilaan lautan lepas.
                Fahmi cepat tanggap, dengan sigap ia segera membuka layar agar cepat sampai ke objek yang terlihat oleh mata teliti Manson. Begitu dekat, Manson mulai mengenali wujud benda itu. Ternyata sebuah mangkuk besar terbuat dari, “Apa ini?” Manson tidak bisa mengenali mangkuk besar itu terbuat dari apa, dia baru melihatnya saat itu. Tapi, ia sangat tau apa yang ada didalamnya. Seorang bayi perempuan yang putih bersih,kulitnya bersinar tersentuh warna matahari. Manson terkejut, ia tidak habis pikir bagaimana seorang bayi cantik nan mungil bisa ada dilaut lepas seperti ini? Manson mengambil tongkat pengait yang biasa ia pakai untuk menarik jaring ikan. Dan mengangkat mangkuk besar tersebut keatas, lalu mengambil sang bayi dengan penuh kelembutan. Sikapnya yang penuh kelembutan itu, membuat Fahmi sahabatnya terheran-heran. Perawakan tinggi besar dan bertato jangkar di pelipis Manson, sama sekali tidak menunjukkan kalau Manson bisa menggendong bayi. Ditambah bayi itu sepertinya tersenyum senang ditimang-timang oleh Manson. Bayi yang sangat cantik, benar-benar cantik.
                “Pemandangan langka melihat Manson menggendong bayi seperti itu,,” gumam Fahmi sambil kemudian menutup layar yang tadi ia kembangkan, terlebih lagi Manson menggendong bayi diatas perahu yang sedang diombang-ambingkan ombak kencang. “Tunggu dulu!” aktifitas Fahmi mendadak terhenti, ia seperti baru menyadari sesuatu. “ ITU BAYI!!!” Teriaknya langsung berbalik badan kearah Manson.
                Seolah terbius dengan kecantikan sang bayi, Manson tidak memperdulikan keterkejutan Fahmi, ia menjawab dengan sangat lembut namun tegas, “ Iya ini bayi,,, ini anakku,, namanya Sea”  jelas Manson tanpa sedikitpun menoleh dari bayi cantik tersebut.
                “Sea! Tolong buatkan aku teh hangat ya!” suara paman mengagetkanku. Ia tampak terburu-buru melepas jaket hujannya yang basah kuyup begitu masuk kerumah tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu.
                Aku menoleh padanya dan melihat keluar jendela. Aku baru sadar kalau diluar sedang hujan. Aku lalu menutup buku yang sedang kubaca dan mencoba membantu Paman yang tampak kesulitan melepaskan jaket hujannya.
                “Sudah, sudah,, Aku bisa melakukannya sendiri,, tolong kamu buatkan teh hangat untukku sana,,” 
                “Iya,,” aku mengangguk lalu ke dapur, dengan cekatan aku menyalakan kompor dan memanaskan air. Sementara aku mengambil cangkir raksasa milik Paman, dan menuangkan gula tiga sendok, kemudian menaruh teh celup yang kuambil dari dalam toples untuk persediaan sebulan. Paman suka sekali teh, ia bukan penggila kopi. Tidak seperti sahabatnya sekaligus partner kerja yang terkadang membuat Pamanku pulang sambil menggerutu tidak jelas, atau malah tersenyum sendiri. Paman Fahmi suka sekali kopi pahit, jika beliau berkunjung kemari, pasti nomor satu yang ia tanyakan. “Sea, ada kopi?”
                “Tentu saja ada paman,,” jawabku geleng-geleng kepala sambil tersenyum. Padahal walaupun ia tidak menanyakannya pun akan kubuatkan kopi special untuknya. Paman Fahmi baik sekali padaku, dan sifatnya yang humoris sering membuatku tertawa terpingkal-pingkal mendengar kisah-kisah lucunya yang terjadi di laut bersama Paman Manson.

                Hari ini sepertinya ada pembicaraan seru yang terdengar olehku dari pembicaraan sepasang bibir dua sahabat itu. Bukan maksud menguping, tetapi suara dentingan adukan sendok dengan cangkir ini dikalahkan oleh suara berkelakar dua manusia seram namun memiliki hati selembut seorang ibu.  Aku mendengarkannya dengan seksama. Malah tanpa sadar, aku menghentikan adukan tehku hanya sekedar agar suara dentingannya tidak mengganggu pendengaranku akan pembicaraan mereka.
               
                “Kalau saja tadi kita cepat sedikit! Dan angin ada dipihak kita,, makhluk itu pasti tidak akan bisa kabur begitu saja!!!” Ujar Fahmi menggebu-gebu.
                “Harusnya tadi kau mendengarkan aku! Jangan langsung bertindak! Kita tunggu dulu makhluk itu mendekat, lalu kita jaring! Kau sungguh tidak sabaran Fahmi!”
                Fahmi memegang dagu tengah berfikir, seperti mencoba mengingat-ingat sesuatu.
                “Fahmi,, apa kau berfikiran hal yang sama denganku?” Manson mencoba menelisik apa yang sedang difikirkan sahabatnya itu.
                Fahmi menaikkan satu alisnya. Itu tandanya iya.
                Wajah Manson memerah. Menahan amarah dan ketakutan yang luar biasa,tangannya mengepal membuat urat-urat hasil kerja kerasnya menunjukkan diri.
                Fahmi tidak bisa berkomentar apa-apa. Ia mengerti perasaan sahabatnya itu begitu makhluk tadi itu muncul. Sesuatu yang sulit dijelaskan namun mengancam.
                Manson memukul meja,lalu tertawa terbahak-bahak seperti orang kesetanan. Disusul oleh tawa Fahmi yang juga seperti orang kesetanan. Dua sahabat ini memang cocok satu sama lain.
                Setelahnya, Manson menarik lengan baju Fahmi dengan kasar dan setengah berbisik ke telinga Fahmi, “aku tidak akan membiarkan milikku diambil oleh siapapun,termasuk makhluk itu!”
               
                Aku tidak mengerti apa yang sedang dibicarakan kedua laki-laki bertubuh besar ini. Ah paling dilaut mereka dikerjai lagi oleh lumba-lumba yang jahil. Kedua pamanku ini entah kenapa anti sekali membunuh lumba-lumba. Tapi baguslah, kalaupun mereka tidak antipati seperti itu, aku yang akan menentang mati-matian jika mereka pada akhirnya memutuskan untuk membunuh lumba-lumba salah satu jenis ikan kesayanganku.
                Aku menaruh nampan berisi gelas-gelas besar kopi dan teh, pesanan mereka. Tidak lupa pula sekalian aku menyuguhkan cake manis buatanku tadi malam untuk teman minum mereka. Paman Fahmi yang lebih dulu melahapnya. Dan memuji rasa kue buatanku ini.
                “Enak sekali Sea kue ini,, kamu yang membuatnya?” Tanya paman Fahmi kemudian menyeruput kopi kesukaannya. “Ahhh paduan yang pas! Kopi dan kue manis buatan si anak cantik Sea,,”
                Aku menyunggingkan senyum mendengarnya.
                Kemudian Paman Manson juga ikut mencicipi, aneh, biasanya dia juga tidak pernah absen memuji apapun buatanku. Rahangnya yang sedang menyeruput teh buatanku terlihat tegang. Aku tau itu artinya apa, pasti ada yang sedang ia khawatirkan. Dan yang bisa membuatnya seperti itu hanya kekhawatirannya tentang aku.
                “Paman,, aku tidak apa-apa,, aku baik-baik saja,, aku sudah tidak mengalami sakit lagi akhir-akhir ini,,” Jelasku sambil meraih jemarinya, mencium punggung jemari yang kasar itu sebagai tanda hormat dan memeluk tubuh besarnya sebagai tanda kasih sayangku pada pamanku ini.
                Dan akhirnya, rahangnya yang keras itu mereda. Ia menyunggingkan senyum hangat yang menjadi favorit dalam hidupku. Senyuman hangat seorang ayah yang penuh dedikasi menjaga putrinya. Walaupun sebenarnya ia bukan ayah biologisku, tapi perlakuannya melebihi seorang ayah kandung sekalipun. Senyum paman Fahmi juga ikut merekah melihat pemandangan indah ini. Ya tuhan,, aku begitu bahagia ada di tengah-tengah mereka. Biarkan mereka tetap menjadi alasan untukku bertahan di hiruk pikuk daratan penuh pasir pertahanan ini.

***

                Dandelion,, satu-satunya temanku di desa nelayan ini yang selalu setia dan pasti menjaga semua kerahasiaanku pada kehidupan disekelilingku. Namanya indah sekali, seindah ketulusan nan jernih dari hatinya. Meskipun banyak pria disini mencemooh dan mengucilkannya, sebenarnya mereka hanya melihat dari fisik Dandeli saja. Sahabatku ini sangat mempesona begitu dia mencurahkan imajinasinya pada sebuah kanvas. Sebuah kanvas berisi lukisan indah yang dipandang sebelah mata oleh mereka yang tidak mengerti apa itu karya seni. Dan dipandang sebelah mata oleh mereka yang mengerti seni namun mendadak menjadi tidak mengerti seni begitu melihat fisik sang pelukis. Seorang gadis pincang pada sebelah kaki kirinya, dan dilengkapi oleh kelainan pada kulitnya yang memiliki pigmentasi kurang sempurna. Atau mereka menyebutnya dengan albino yang pincang.
                “Sea,, apa menurutmu Ibuku telah memberiku nama yang salah?” tanya Dandeli tiba-tiba ketika kami sedang merenung diatas tebing yang bisa langsung terlihat lautan lepas dari atasnya.
                Aku memiringkan kepalaku dan menaikkan alis, “Dandelion? Memangnya ada yang salah dengan nama itu?”
                “Bukankah seharusnya aku diberi nama si Aneh? Atau si Pincang? Seperti yang mereka katakan padaku? Nama Dandelion terlalu indah dan berat untuk kupikul Sea,,” jawabnya sedih.
                Aku menoleh kearahnya, menatap matanya yang tidak mampu membalas menatapku sebagai sahabatnya karena sedang kepayahan menahan air mata yang semakin menetes. Hamparan lautan lepas dibawah sana membantuku mencari cara agar Dandeli tidak melarut dalam kesedihannya akan pengaruh perkataan manusia-manusia kejam disekeliling kami.
                “Dandeli,, kamu tau kenapa Paman Manson memberiku nama Sea?”
                Dandeli mengangkat bahu.
                “Sea adalah lautan. Katanya, dia menamaiku seperti itu, karena aku ditemukan dilautan lepas. Kamu tau kan Pamanku itu sangat menyukai Laut. Dia menyayangiku, makanya dia menamaiku dengan nama Sea,berharap nantinya,, aku akan seperti lautan,, Luas dan dalam ketika mengarungi kehidupanku nantinya,,“
                Berhasil, Dandeli menghapus airmatanya, “lalu apa arti Dandelion?” tanyanya.
                “Memangnya kamu tidak tau?” Aku menyenggol bahunya.
                “Aku tau, Dandelion adalah sebuah bunga kecil yang pernah ditemukan oleh ayahku sewaktu dia pergi menanjak ke sebuah gunung dimasa mudanya,,”
                “Ya,, Dandelion adalah sebuah bunga kecil,, bunga yang tidak pernah dijadikan pajangan cantik dalam pot-pot diatas meja, karena dia tidak secantik mawar yang berduri. Dia juga tumbuh di tengah-tengah ilalang, sehingga dia tersembunyi dibalik rerumputan.Namun angin sejuk kehidupan pasti menemukannya, dia akan terbang bebas dan berhenti disuatu tempat, memulai kembali menjadi bunga baru yang indah. Mungkin dari luarnya Bunga Dandelion terlihat rapuh dan biasa saja, tapi tidak semua bunga bisa berteman dengan angin dan terbang bersama angin kan? Bunga mawar? Ya dia cantik, tapi hanya diam di tempat dan menunggu orang lain memetiknya,, sedangkan Dandelion, dia bisa terbang kemanapun dia inginkan dibantu oleh angin kehidupan yang membawanya,,”

                Dandeli tersenyum haru mendengar kata-kataku. Aku senang melihat sahabatku ini kembali menyunggingkan senyumnya.
                “Ini untukmu Sea,,” Dandeli melepaskan gelang kaki nan cantik dari kakinya yang pincang.
                Aku terkejut melihatnya. “Kenapa? Bukankah ini jimat dari almarhum ayahmu agar kakimu kuat saat berjalan?”
                “Ya,, lalu kenapa?” Ujarnya santai.
                “Bukankah ini benda berharga dalam hidupmu Dandeli? Aku tidak bisa menerimanya,,” aku memberikan kembali gelang kaki itu ke telapak tangannya.
                “Ya ini berharga sekali bagiku,, oleh karena itu, aku ingin kamu menjaganya. Saat ini aku tidak memerlukan kekuatan untuk melangkah, kamu tau kan? Aku memiliki angin untuk terbang tinggi memenuhi harapanku,, tapi kamu,, kamu lebih membutuhkan kekuatan dari jimat ini untuk melangkah mengarungi hidupmu yang lebih sulit dan luas dariku Sea” dengan lembut, Dandeli memakaikan gelang kaki cantik itu ke kaki kananku dan tersenyum puas setelahnya. “Lihat,, lebih cantik jika kaki indahmu yang memakainya,,” ucapnya dengan senyum mengembang.

***
               
                Angin malam hari ini sangat kencang sekali bertiup. Kerincingan anginku dijendela tidak henti-hentinya bermain. Dan aku masih memperhatikan gelang yang ada dikakiku ini. Cantik dan berharga. Apa benar kata Dandeli, aku masih belum memiliki kekuatan yang cukup untuk mengarungi hidupku yang luas, makanya dia memberikanku gelang ini dan memakaikannya langsung dikakiku.
                Argh! Sakit itu datang lagi! Dada ini berdebar tidak karuan, seolah ingin menguak kulitku dari dalam. Bersamaan dengan rasa sakit itu bayangan-bayangan yang tidak kukenali muncul dikepalaku dan membisikkan suara-suara tidak jelas. Apa ini? Aku terbungkuk dan beringsut di lantai kamarku. Mencari-cari obat penghilang rasa sakit yang luar biasa kurasakan. Tapi percuma, yang kubutuhkan hanya air laut! Aku menguatkan diriku melangkah keluar, berusaha tidak membuat suara agar paman tidak mengetahui apa-apa mengenai aku.  Aku melepas paksa gelang kaki pemberian Dandeli, suara gemerincingnya bisa membangunkan paman. Kulempar gelang itu ke atas tempat tidur dan segera keluar, tujuanku satu-satunya adalah tebing.
                Angin kencang menerpa wajahku dan menghapus jejak-jejakku dipasir. Dada ini semakin sakit dan membakar. Kepalaku dipenuhi bayangan-bayangan yang tidak pernah kulihat sebelumnya. Aku harus ke tebing,, aku harus ke laut. Jika tidak orang lain selain Dandeli akan tau apa yang ada didiriku. Laut,, aku harus terjun ke laut atau sakit ini akan semakin menyiksaku. Aku ingin menghapus bayangan-bayangan yang ada dikepalaku saat ini. Bayangan-bayangan itu hanya membuat kepalaku sakit! Dan tanpa berfikir panjang,begitu aku sampai di tepian tebing yang dibawahnya terdapat hamparan laut nan dalam. 
                     Ini waktunya sakit ini selesai.

-to be continued-
 write by winda 

1 komentar:

MyNameIsPuloh said...

its so wonderful, but i prefer to read your fully book like a novel maybe...cant wait

Post a Comment

Total Pageviews

Blogger templates

 
;